Senin, 19 Desember 2011

Selamat Idul Fitri ala A. Mustofa Bisri, Vertikal Horizontal

Oleh: Midi Hardiani

           Sebelum saya membahas lebih panjang dan mendalam mengenai puisi berjudul “Selamat Idul Fitri” alangkah baiknya saya memperkenalkan sedikit mengenai sang mpunya puisi tersebut. Adalah A Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus, seorang Kiyai, penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan muslim. Ia telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia kiyai yang bersahaja, bukan kiyai yang ambisius. Ia juga disebut sebagai kiyai pembelajar bagi para ulama dan umat. Dididik orangtuanya dengan keras apalagi jika menyangkut prinsip-prinsip agama. ulama ini lalu menekuni hobi membaca buku sastra dan budaya, serta gemar menulis. Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah ini termasuk seorang penulis yang produktif. Banyak buku-buku dalam bidang keagamaan yang ia tulis serta tulisan-tulisan lain yang telah banyak dimuat di berbagai media. Ia juga kerap mengkritisi setiap fenomena negeri ini dengan cara yang lain dan khas.
           Apabila anda adalah penggemar A. Mustofa Bisri atau pemerhati sang kiyai nyentrik ini anda tentu akan selalu tersenyum ketika mengingat beberapa karyanya yang antara lain ketika semua orang sibuk dengan pro kontra mengenai goyang ngebor pedangdut Inul Daratista, ia justru membuat lukisan berjudul “Dzikir Bersama Inul”, dan yang tak kalah menarik adalah tulisannya yang katanya membela ahmadiyah pada saat orang-orang muslim dari kalangan tertentu mengobrak-abrik markas milik warga ahmadiyah tersebut A. Mustofa Bisri justru hadir dengan puisi berjudul “yang tersesat dan yang ngamuk”. Ya, begitulah ia dalam kengkritisi fenomena kebudayaan yang terjadi di Indonesia.
             Setelah memaparkan secara singkat mengenai A. Mustofa Bisri, nampaknya akan menjadi gambaran serta bekal bagi kita untuk memahami bagaimana karya-karya yang ia hasilkan terlebih sebuah puisi. Karena setiap karya pasti tak akan lepas dari latarbelakang pengarangnya. A. Mustofa Bisri selalu berkata bahwa ia tak ingin disebut satrawan karena puisinya adalah puisi-puisian. Ketika menulis sebuah puisi, ia tak pernah memperdulikan apakah puisinnya akan dimuat di majalah atau media apa, atau bahkan ada yang akan membaca karyanya atau tidak, yang terpenting baginya adalah menyalurkan perasaan lewat puisi. Ia pun bersyukur diberi kelebihan untuk menulis. Karena syair atau karya sastra pun dalam Islam sudah ada sejak zaman rasulullah, itulah salah satu alasannya untuk tetap bersyair. Terlepas dari sosoknya yang relijius, dalam puisi-puisnya khususnya “Selamat Idul Fitri”, ia menyatukan dengan realitas sosial yang ada. Artinya bahwa dibalik kritik sosialnya yang tajam ia tetap menggunakan media atau menyertakan kerelijiusannya, atau sebaliknya.
Berikut puisi A. Mustofa Bisri dengan judul Selamat Idul Fitri:
Selamat Idul Fitri

Selamat idul fitri, bumi
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak semena-mena
Kami memperkosamu
Selamat idul fitri, langit
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak henti-hentinya
Kami mengelabukanmu

Selamat idul fitri, mentari
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak bosan-bosan
Kami mengaburkanmu

Selamat idul fitri, laut
Maafkanlah kami
Selama ini
Kami mengeruhkanmu

Selamat idul fitri, burung-burung
Maafkanlah kami
Selama ini
Memberangusmu

Selamat idul fitri, tetumbuhan
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak puas-puas
Kami menebasmu

Selamat idul fitri, para pemimpin
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak habis-habis
Kami membiarkanmu

Selamat idul fitri, rakyat
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak sudah-sudah
Kami mempergunakanmu.

            Selamat Idul Fitri, sepintas memang puisi ini terlihat sederhana seperti puisi lain pada umumnya, tapi puisi ini sarat akan makna serta kejujuran dari penyair, tidak bertele-tele dan akan mudah difahami oleh pembaca tapi tidak hambar atau membosankan. Tentang kepenyairan A. Mustofa Bisri, Sutardji Calzoum Bachri menilai, “gaya pengucapan puisi Mustofa tidak berbunga-bunga, sajak-sajaknya tidak berupaya bercantik-cantik dalam gaya pengucapan. Tapi lewat kewajaran dan kesederhanaan berucap atau berbahasa, yang tumbuh dari ketidakinginan untuk mengada-ada. Bahasanya langsung, gamblang, tapi tidak menjadikan puisinya tawar atau klise. Sebagai penyair, ia bukan penjaga taman kata-kata. Ia penjaga dan pendamba kearifan”. Kata Sutardji.
                Dalam puisi ini subjek lirik atau dalam hal ini kami-lirik seolah tetap namun berganti-ganti di setiap bait menjadi banyak. Kami-lirik dalam setiap bait menempati porsinya masing-masing. Kadang menjadi apa atau siapa, serta kadang menjadi pemimpin, dan menjadi rakyat. Namun apapun dan siapapun kami-lirik tersebut seolah mengungkapkan rasa bersalah yang sangat. Terlihat jelas pada kata “maafkan kami”. Kami-lirik merasa bersalah pada alam sekitar yaitu bumi, langit, mentari, burung-burung, tetumbuhan, dan yang paling menarik lagi adalah pemimpin dan rakyat. puisi “Selamat Idul Fitri” adalah sebuah ironi. Ia tidak saja menyatakan rasa bersalah dan mohon maaf dengan tulus dan sangat, melainkan juga mengungkapkan sinisme sebagai bentuk kritik sosial. Hal tersebut memberikan efek lebih tajam pada kritik sosial yang dikandungnya.

Selamat idul fitri, para pemimpin
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak habis-habis
Kami membiarkanmu
Selamat idul fitri, rakyat
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak sudah-sudah
Kami mempergunakanmu.

            Uniknya, bait kedua terakhir serta bait terakhir ini justru yang menjadi klimaks dari bait-bait sebelumnya, menjadi penutup yang dalam benak kita tentu tergambar apa yang disampaikan kami-lirik ini adalah sebuah relitas sosial akan apa yang terjadi di Negara kita tercinta ini.
Dari segi diksi puisi ini pun begitu khas, meski terlihat sederhana tapi memiliki makna yang dalam. Seperti pemilihan kata “Selamat Idul Fitri”. Dalam kenyataan kita dimasyarakat muslim khususnya bahwasanya setiap hari raya Idul Fitri kaum muslim bertemu dengan hari Raya Idul Fitri setelah satu bulan berpuasa. Nampaknya penulis sadar betul bahwa perkataan Selamat Idul Fitri yang setiap tahun diucapkan itu seolah tak bermakna ketika negeri ini terus-menerus berada dalam ketidakjujuran. Sampai penyair menuliskan kami-lirik meminta maaf pada setiap makluk seisi bumi yang menjadi saksi perjalanan negeri ini, tentu dalam hal ini ada sisi relijius yang ia tanamkan dalam serta kritik sosial yang membuktikan bahwa dalam puisi ini A. Mustrofa Bisri menanamkan hubuingan vertikal (kepada Tuhan) serta Horizontal (kepada lingkungan sosial).
Dalam puisi ini juga jelas terlihat banyaknya repetisi atau pengulangan kata dan frasa di setiap bait dari awal sampai akhir, memiliki arti tersendiri, memberikan penekanan dan meyakinkan bahwa kami-lirik benar-benar meninta maaf, bersungguh-sungguh merasa bersalah. Repetisi dalam sebuah puisi juga menimbulkan efek tersendiri baik terhadap puisi itu sendiri maupun penyairnya.

Selamat idul fitri, (...)
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak (...)
Kami (...)
Selamat idul fitri,(...)
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak (...)
Kami (...)

Selamat idul fitri, (...)
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak (...)
Kami (...)

Selamat idul fitri, (...)
Maafkanlah kami
Selama ini
Kami (...)

Selamat idul fitri, (...)
Maafkanlah kami
Selama ini
(...)

Selamat idul fitri, (...)
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak (...)
Kami (...)

Selamat idul fitri, (...)
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak (...)
Kami (...)

Selamat idul fitri, (...)
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak (...)
Kami (...)

             Dr. Wahyudi Siswanto dalam bukunya pengantar teori sastra mengutip pernyataan Marjorie Bulton bahwa pengulangan bunyi, kata, dan frasa memberikan efek intelektual dan efek magis yang murni, walaupun untuk puisi Indonesia efek rima tersebut masih lebih banyak merupakan pendapat dan data puisi dari barat. Maka repetisi dalam puisi “Selamat Idul Fitri” apabila merujuk pada pendapat Bulton tersebut bahwa benar adanya repetisi itu memberikan efek intelektual dan efek magis, seolah ada penekanan dalam repetisi tersebut, kami-lirik menilai sudah benar-benar pada titik yang bukan lagi dinasehati atau diperbaiki, tapi ditekankan dan memohon dengan sangat.
             Puisi ini tak lepas dari kehidupan pribadi A. Mustofa Bisri yang relijius serta kepeduliannya terhadap kehidupan sosial masyarakat atau bangsa ini, menjadi paduan sangat mewah antara keluasan wawasan seorang negarawan, kecermatan refleksi seorang sufi, rasa humor serta sikap penuh kasih sayang seorang kiyai. Maka lengkap sudah dalam puisi “Selamat Idul Fitri” ini menyiratkan hubungan vertikal yang walaupun tidak secara khusus penyair menyiratkannya antara hubungan kami-lirik dengan Tuahannya, akan tetapi hubungan vertikal itu dibangun dari realitas sosial yaitu dengan hubungan horizontal yang begitu mengesankan, maka dipadukan dengan unsur re;ijiusitas-vertikal yang tercermin dalam “Selamat Idul Fitri”.
Maka kritik sosial dalam puisi ini begitu tajam.
            Prof Dr Umar Kayam pun berkomentar tentang kepenyairan A. Mustofa Bisri. “Dalam perjalanannya sebagai kiyai, saya kira, ia (A. Mustofa Bisri) menyerahkan diri secara total sembari berjalan sambil tafakur. Sedang dalam perjalanannya sebagai penyair, ia berjalan, mata dan hatinya menatap alam semesta dan puak manusia dengan ngungun, penuh pertanyaan dan ketakjuban” katanya.


Kamis, 06 Januari 2011

Makna Filosofis Mendalam Dibalik Masjid Agung Banten



Banten, 02 Januari 2011-wisata edukasi School Of Writter kali ini adalah masjid Agung Banten. Dibutuhkan waktu sekitar 3 jam perjalanan untuk menuju kawasan ini dari pusat ibukota Jakarta. Saat tiba di kawasan Komplek Masjid Agung para pendatang dari daerah banten bahkan dari luar banten akan disambut oleh ibu-ibu “penukar uang receh”, pengemis, dan para pedagang yang menggelar dagangnnya. Suatu keadaan yang jarang ditemui di sekitar komplek masjid atau museum serta kawasan wisata lainnya. Tapi yang lebih menarik perhatian lagi adalah bangunan masjid, menara, serta semua bangunan disekitar komplek Masjid Agung tersebut.
Untuk menemukan informasi mengenai sejarah komplek masjid agung saya pun menemui Bapak M. Hatta Kurdie selaku bagian pendidikan dan Informasi di Komplek Masjid Agung. Hanya dengan jarak 300 km dari komplek masjid agung saya dapat mnegunjungi rumah Bapak Hatta biasa beliau di sapa dan kedatangan saya pun disambut dengan tangan terbuka olehnya.
Komplek masjid Agung Banten terdiri dari Bangunan masjid dengan Serambi Pemakaman di kiri-kanannya, Tiyamah (museum), menara, dan tempat pemakaman di halaman sisi utara. Arsitektur Masjid Banten hampir sama dengan masjid Agung Demak dan Masjid Agung Cirebon karena dibangun oleh arsitek yang sama yaitu Raden Sepat dari kerajaan Majapahit. Menurut sejarah bangunan Masjid Agung Banten banyak mengadopsi dari bangunan-bangunan Hindu. Akan tetapi menurut Bapak Hatta karena yang dibuat adalah sebuah masjid maka tentu akan dilihat dalam persfektif Islam, tuturnya. Ternyata disetiap bangunan yang didirikan di komplek masjid tersebut selain didirikan atas dasar manfaat tapi juga terdapat nilai filosofis Islam yang sangat mendalam.
Bangunan Masjid
Atap Masjid seperti punden berundak dengan  atap tumpang lima yang menggambarkan Rukun Islam yang Lima yaitu Syahadat, Shalat, Puasa, zakat, dan Haji. Pintu Masjid seluruhnya berjumlah Enam buah yang merupakan symbol dari Rukun Islam. Pintu masjid pun sengaja dibuat kevcil agar setiap orang yang masuk masjid tunduk sebagai symbol bahwa sebagai manusia harus bertawadhu kepada Allah dan semua sama tidak ada perbedaan. Tiang masjid tgrdiri dari 12 buah melambangkan 12 bulan dalam satu tahun, serta keseluruhan tiang yang ada di sekitar masjid berjumlah 24 yang melambangkan waktu dalam satu hari penuh, mengingatkan ke pada manusia bahwa harus memanfaatkan setiap waktu yang disediakan untuk beribadah. Tinggi masjid mulai dari dasar sampai puncak masjid 17 meter yang merupakan symbol dari Jumlah rakaat shalat wajib dalam 1hari serta 17 ramadhan sebagai tanggal diturunkannya Al-Qur’an. Penyangga tiang(umpak) berbentuk  seperti buah labu sebagai symbol kemakmuran dari Masyarakat banten itu sendiri. Dihalaman masjid terdapat 4 kolam yang melambangkan 4 mazhab yang ada di Indonesia, selain itu berfungsi pula untuk mencuci kaki sebelum memasuki masjid bagi para jamaah.
Menara
       Masjid Agung dibangun pada abad ke 16 atau sekitar tahun 1560, ditahun yang sama pula dibangun sebuah menara masjid yang berfungsi sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan serta tempat untuk memantau keadaan di teluk banten. Menara tersebut dibangun oleh arsitek asal Cina yaitu Cek Ban Cut yang diberi gelar Pangeran Wiradiguna oleh Sultan Ageng Tirtayasa kemudian direnovasi oleh Henrik Lucasz Cardeel dari Belanda pada tahun 1683 dan pada saat itulah masuk pengaruh budaya eropa yang sebelumnya banyak dipengaruhi oleh agama budha yaitu dengan adanya padma (bunga teratai) pada puncak menara. Bunga teratai adalah lambang agama Budha. Sangat terlihat jelas akulturasi budaya yang kuat dalam komplek masjid Agung Banten tersebut.
Tiyamah
          Tiyamah pada awalnya dibangun untuk tempat pertemuan bagi para ulama setiap 40 hari sekali mengadakan pengajian, diskusi, serta laporan keadaan dari daerah masing-masing mengenai keadaan daerahnya. Kemudian setelah kesultanan runtuh oleh Daendels pada tahun 1866 banten pun menjadi kota mati kemudian lahirlah serang banten. Setelah itu Tiyamah digunakan sebagai tempat penyimpanan alat-alat perang dan alat-alat rumah tangga (museum). Namun karena kekurangan tenaga kerja maka banyak dari peninggalan-peninggalan tersebut yang hilang.
Komplek Pemakaman
          Makam yang berada di komplek Masjid Agung Banten terdiri dari 7 kuburan yaitu terdiri dari: Maulana Hasanuddin (Sultan Banten 1), Permaisuri Maulana Hasanuddin (Nyai Ratu Ayu Kirana), Maulana Muhammad Nasruddin, Sultan Ageng Tirtayasa (Generasi ke 6), Sultan Haji (Abu Nasr Abdul Kohar), Sultan Abdul Fadhol (Generasi ke 8), dan Permaisuri dari Abdul Fadhol.
          Masjid Agung Banten dengan segala keindahan dan sejarah yang tak bisa dilepaskan darinya tercatat sebagai masjid yang paling banyak dikunjungi dibanding masjid-masjid yang lainnya sebagai peninggalan sejarah yang harus tetap dipelihara kesucian serta fungsi dan manfaatnya ditengah masyarakat.
_Milica Rosemary_         

Pengaruh program televisi terhadap perkembangan anak



Anda penggila sinetron? Musik? Berita? Kuis berhadiah? Atau kartun jepang? Dan menyalakan televisi setiap saat? Lihat apa yang anda tonton bersama anak anda dan lihat  perkembangan anak anda setelahnya.  Ya, betapa besar pengaruh tayangan yang kita atau keluarga lihat terhadap perkembangan anak, baik dari segi pengetahuan, psikologis, dan segala aspek yang membantu pertumbuhannya.
Dalam teori pendidikan orangtua adalah pendidik pertama dan utama karena dalam keluarga lah anak mulai bersosialisai dengan lingkungan sekitarnya yaitu keluarga. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin cepat sebagai produk dari revolusi industri, kemajuan teknologi khususnya televisi membawa dampak yang sangat banyak untuk perkembangan anak baik segi positif maupun negatif.     
Seorang anak tentu akan meniru apa yang dilakukan oleh orangtuanya. Begitu pula dengan apa yang ia lihat dan saksikan di televisi. Anak cenderung akan meniru dan melakukan apa yang ia lihat pertama kali. Baik ketika hal tersebut positif adanya, tapi apabila negatif? Ya. Tugas orangtualah untuk memfilter segala pengetahuan yang masuk dan tertanam dalam benak anak sejak dini.    


Jilbab, Ideologi + Fashion. Why Not?


Jilbab adalah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada. Banyak para wanita menjadikan jilbab sebagai ideologi. Karena memang  jelas sekali disebutkan dalam QS. Al-ahzab ayat 59 bahwa wanita wajib mengenakan jilbab. Karena itu tak heran banyak wanita muslim  menutup auratnya dengan jilbab. Terlepas dari lingkungan keluarga atau masyarakat serta latarbelakang pendidikan agama dan sebagainya wanita mengenakan jilbab, apabila jilbab memang dipegang sebagai ideologi maka sudah barang tentu sesuai dengan ajaran Islam.
Jilbab seiring dengan arus perkembangan zaman kini sudah menjadi hal yang tak tabu lagi. Ketika dulu khususnya di Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto tidak diperbolehkan ada yang mengenakan jilbab, baik di kalangan pekerja maupun pelajar. Kini sudah bisa dilihat banyak para wanita yang menutup auratnya dengan jilbab. Dan tentu dengan mode dan tren yang beragam. Kalangan selebritis pun yang kita tahu kehidupan mereka sarat akan dunia gemerlap kini sebagian telah banyak yang mengenakan jilbab, karena itu jilbab telah menjadi fashion yang cukup menggiurkan. Dan hal tersebut telah seolah menjadi budaya yang telah merajalela. Banyak para wanita yang mengenakan jilbab hanya karena ingin terlihat cantik dan enak dipandang, atau sekedar memenuhi kewajiban atau peraturan yang berlaku di instansi yang mereka duduki, ketika peraturan tersebut tidak mengikat maka dilepas kembali jilbab tersebut di luar instansi pun tidak masalah, dan sebagian lainnya karena ikut-ikutan mode saja. Sangat disayangkan memang.
Hendaknya definisi jilbab itu sendiri jangan sampai di salah artikan, jilbab yang pada hakekatnya menutup aurat tapi dengan fashion maka nilai dari jilbab itu sendiri akan hilang apabila berlebihan dalam mengemas mode yang hanya mementingkan keindahan tanpa ada nilai-nilai jilbab yang sesungguhnya di dalamnya. Fakta dilapangan menyebutkan bahwa hanya segelintir para wanita mengenakan jilbab karena mereka memang faham akan hal tersebut. Dan sebagian yang lainnya adalah para wanita yang mengikuti tren dan mode jilbab yang memang menarik para wanita untuk mengenakannya dengan segala bentuk dan warna yang indah untuk dikenakan. Tidak masalah sebetulnya walaupun dengan fashion tetapi memiliki niat yang tulus untuk menegakkan syariat Islam.
Ketika melihat fenomena bahwa hanya segelintir wanita muslim yang mengenakan jilbab khususnya di Indonesia dari masa ke masa, tapi tidak dengan era globalisasi seperti sekarang ini sudah cukup banyak wanita muslim yang sadar akan kewajiban mereka untuk mengenakan jilbab. Hal tersebut merupakan kemajuan yang bagus untuk umat Islam. Akan tetapi apabila dikembalikan kepada niat masing-masing individu untuk mengenakan jilbab tentu lain persoalannya. Terlepas dari niat dan penilaian individu tersebut mengenai jilbab dan penafsiran setiap individu terhadap jilbab yang mereka kenakan sudah sesuai atau tidak dengan syariat Islam. Tentu umat muslim patut bangga dengan perkembangan tersebut. Tinggal meluruskan kembali niat mengenakan jilbab itu sendiri dan penafsiran terhadap jilbab. Karena banyak kaum wanita yang mereka yakin bahwa jilbab yang mereka kenakan sudah sesuai aturan karena menutupi kepala dan dada, tapi apabila dikenakan dengan pakaian yang ketat dan membentuk lekuk tubuh apakah itu bisa kita sebut dengan mengenakan jilbab? Jangan sampai kita menilai jilbab hanya sebagai budaya saja kita harus lebih memahami hakikat jilbab itu sendiri agar jilbab tidak hanya sebagai fashion tapi juga ideologi yang harus dipertahankan. Ainun Najib pernah berbicara tentang jilbab, dalam esainya beliau mengatakan “Jilbab memang merupakan budaya arab, tapi secara fungsional jilbab bukan hanya produk budaya tetapi juga sebagai penutup aurat wanita”.
Jilbab jangan sampai hanya dijadikan budaya dan tren yang menarik, tapi juga hiasi dengan niat yang tulus untuk memurnikan hakekat jilbab yang sesungguhnya. Jilbab sebagai ideologi harus dipertahankan tapi perkembangan zamanpun tak bisa ditepis, maka tak ada salahnya ketika ideologi itu telah tertanam maka fashion pun bisa mengikuti dengan koridor-koridor yang sesuai tanpa menghilangkan hakekat jilbab itu sendiri .