Kamis, 06 Januari 2011

Makna Filosofis Mendalam Dibalik Masjid Agung Banten



Banten, 02 Januari 2011-wisata edukasi School Of Writter kali ini adalah masjid Agung Banten. Dibutuhkan waktu sekitar 3 jam perjalanan untuk menuju kawasan ini dari pusat ibukota Jakarta. Saat tiba di kawasan Komplek Masjid Agung para pendatang dari daerah banten bahkan dari luar banten akan disambut oleh ibu-ibu “penukar uang receh”, pengemis, dan para pedagang yang menggelar dagangnnya. Suatu keadaan yang jarang ditemui di sekitar komplek masjid atau museum serta kawasan wisata lainnya. Tapi yang lebih menarik perhatian lagi adalah bangunan masjid, menara, serta semua bangunan disekitar komplek Masjid Agung tersebut.
Untuk menemukan informasi mengenai sejarah komplek masjid agung saya pun menemui Bapak M. Hatta Kurdie selaku bagian pendidikan dan Informasi di Komplek Masjid Agung. Hanya dengan jarak 300 km dari komplek masjid agung saya dapat mnegunjungi rumah Bapak Hatta biasa beliau di sapa dan kedatangan saya pun disambut dengan tangan terbuka olehnya.
Komplek masjid Agung Banten terdiri dari Bangunan masjid dengan Serambi Pemakaman di kiri-kanannya, Tiyamah (museum), menara, dan tempat pemakaman di halaman sisi utara. Arsitektur Masjid Banten hampir sama dengan masjid Agung Demak dan Masjid Agung Cirebon karena dibangun oleh arsitek yang sama yaitu Raden Sepat dari kerajaan Majapahit. Menurut sejarah bangunan Masjid Agung Banten banyak mengadopsi dari bangunan-bangunan Hindu. Akan tetapi menurut Bapak Hatta karena yang dibuat adalah sebuah masjid maka tentu akan dilihat dalam persfektif Islam, tuturnya. Ternyata disetiap bangunan yang didirikan di komplek masjid tersebut selain didirikan atas dasar manfaat tapi juga terdapat nilai filosofis Islam yang sangat mendalam.
Bangunan Masjid
Atap Masjid seperti punden berundak dengan  atap tumpang lima yang menggambarkan Rukun Islam yang Lima yaitu Syahadat, Shalat, Puasa, zakat, dan Haji. Pintu Masjid seluruhnya berjumlah Enam buah yang merupakan symbol dari Rukun Islam. Pintu masjid pun sengaja dibuat kevcil agar setiap orang yang masuk masjid tunduk sebagai symbol bahwa sebagai manusia harus bertawadhu kepada Allah dan semua sama tidak ada perbedaan. Tiang masjid tgrdiri dari 12 buah melambangkan 12 bulan dalam satu tahun, serta keseluruhan tiang yang ada di sekitar masjid berjumlah 24 yang melambangkan waktu dalam satu hari penuh, mengingatkan ke pada manusia bahwa harus memanfaatkan setiap waktu yang disediakan untuk beribadah. Tinggi masjid mulai dari dasar sampai puncak masjid 17 meter yang merupakan symbol dari Jumlah rakaat shalat wajib dalam 1hari serta 17 ramadhan sebagai tanggal diturunkannya Al-Qur’an. Penyangga tiang(umpak) berbentuk  seperti buah labu sebagai symbol kemakmuran dari Masyarakat banten itu sendiri. Dihalaman masjid terdapat 4 kolam yang melambangkan 4 mazhab yang ada di Indonesia, selain itu berfungsi pula untuk mencuci kaki sebelum memasuki masjid bagi para jamaah.
Menara
       Masjid Agung dibangun pada abad ke 16 atau sekitar tahun 1560, ditahun yang sama pula dibangun sebuah menara masjid yang berfungsi sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan serta tempat untuk memantau keadaan di teluk banten. Menara tersebut dibangun oleh arsitek asal Cina yaitu Cek Ban Cut yang diberi gelar Pangeran Wiradiguna oleh Sultan Ageng Tirtayasa kemudian direnovasi oleh Henrik Lucasz Cardeel dari Belanda pada tahun 1683 dan pada saat itulah masuk pengaruh budaya eropa yang sebelumnya banyak dipengaruhi oleh agama budha yaitu dengan adanya padma (bunga teratai) pada puncak menara. Bunga teratai adalah lambang agama Budha. Sangat terlihat jelas akulturasi budaya yang kuat dalam komplek masjid Agung Banten tersebut.
Tiyamah
          Tiyamah pada awalnya dibangun untuk tempat pertemuan bagi para ulama setiap 40 hari sekali mengadakan pengajian, diskusi, serta laporan keadaan dari daerah masing-masing mengenai keadaan daerahnya. Kemudian setelah kesultanan runtuh oleh Daendels pada tahun 1866 banten pun menjadi kota mati kemudian lahirlah serang banten. Setelah itu Tiyamah digunakan sebagai tempat penyimpanan alat-alat perang dan alat-alat rumah tangga (museum). Namun karena kekurangan tenaga kerja maka banyak dari peninggalan-peninggalan tersebut yang hilang.
Komplek Pemakaman
          Makam yang berada di komplek Masjid Agung Banten terdiri dari 7 kuburan yaitu terdiri dari: Maulana Hasanuddin (Sultan Banten 1), Permaisuri Maulana Hasanuddin (Nyai Ratu Ayu Kirana), Maulana Muhammad Nasruddin, Sultan Ageng Tirtayasa (Generasi ke 6), Sultan Haji (Abu Nasr Abdul Kohar), Sultan Abdul Fadhol (Generasi ke 8), dan Permaisuri dari Abdul Fadhol.
          Masjid Agung Banten dengan segala keindahan dan sejarah yang tak bisa dilepaskan darinya tercatat sebagai masjid yang paling banyak dikunjungi dibanding masjid-masjid yang lainnya sebagai peninggalan sejarah yang harus tetap dipelihara kesucian serta fungsi dan manfaatnya ditengah masyarakat.
_Milica Rosemary_         

Pengaruh program televisi terhadap perkembangan anak



Anda penggila sinetron? Musik? Berita? Kuis berhadiah? Atau kartun jepang? Dan menyalakan televisi setiap saat? Lihat apa yang anda tonton bersama anak anda dan lihat  perkembangan anak anda setelahnya.  Ya, betapa besar pengaruh tayangan yang kita atau keluarga lihat terhadap perkembangan anak, baik dari segi pengetahuan, psikologis, dan segala aspek yang membantu pertumbuhannya.
Dalam teori pendidikan orangtua adalah pendidik pertama dan utama karena dalam keluarga lah anak mulai bersosialisai dengan lingkungan sekitarnya yaitu keluarga. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin cepat sebagai produk dari revolusi industri, kemajuan teknologi khususnya televisi membawa dampak yang sangat banyak untuk perkembangan anak baik segi positif maupun negatif.     
Seorang anak tentu akan meniru apa yang dilakukan oleh orangtuanya. Begitu pula dengan apa yang ia lihat dan saksikan di televisi. Anak cenderung akan meniru dan melakukan apa yang ia lihat pertama kali. Baik ketika hal tersebut positif adanya, tapi apabila negatif? Ya. Tugas orangtualah untuk memfilter segala pengetahuan yang masuk dan tertanam dalam benak anak sejak dini.    


Jilbab, Ideologi + Fashion. Why Not?


Jilbab adalah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada. Banyak para wanita menjadikan jilbab sebagai ideologi. Karena memang  jelas sekali disebutkan dalam QS. Al-ahzab ayat 59 bahwa wanita wajib mengenakan jilbab. Karena itu tak heran banyak wanita muslim  menutup auratnya dengan jilbab. Terlepas dari lingkungan keluarga atau masyarakat serta latarbelakang pendidikan agama dan sebagainya wanita mengenakan jilbab, apabila jilbab memang dipegang sebagai ideologi maka sudah barang tentu sesuai dengan ajaran Islam.
Jilbab seiring dengan arus perkembangan zaman kini sudah menjadi hal yang tak tabu lagi. Ketika dulu khususnya di Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto tidak diperbolehkan ada yang mengenakan jilbab, baik di kalangan pekerja maupun pelajar. Kini sudah bisa dilihat banyak para wanita yang menutup auratnya dengan jilbab. Dan tentu dengan mode dan tren yang beragam. Kalangan selebritis pun yang kita tahu kehidupan mereka sarat akan dunia gemerlap kini sebagian telah banyak yang mengenakan jilbab, karena itu jilbab telah menjadi fashion yang cukup menggiurkan. Dan hal tersebut telah seolah menjadi budaya yang telah merajalela. Banyak para wanita yang mengenakan jilbab hanya karena ingin terlihat cantik dan enak dipandang, atau sekedar memenuhi kewajiban atau peraturan yang berlaku di instansi yang mereka duduki, ketika peraturan tersebut tidak mengikat maka dilepas kembali jilbab tersebut di luar instansi pun tidak masalah, dan sebagian lainnya karena ikut-ikutan mode saja. Sangat disayangkan memang.
Hendaknya definisi jilbab itu sendiri jangan sampai di salah artikan, jilbab yang pada hakekatnya menutup aurat tapi dengan fashion maka nilai dari jilbab itu sendiri akan hilang apabila berlebihan dalam mengemas mode yang hanya mementingkan keindahan tanpa ada nilai-nilai jilbab yang sesungguhnya di dalamnya. Fakta dilapangan menyebutkan bahwa hanya segelintir para wanita mengenakan jilbab karena mereka memang faham akan hal tersebut. Dan sebagian yang lainnya adalah para wanita yang mengikuti tren dan mode jilbab yang memang menarik para wanita untuk mengenakannya dengan segala bentuk dan warna yang indah untuk dikenakan. Tidak masalah sebetulnya walaupun dengan fashion tetapi memiliki niat yang tulus untuk menegakkan syariat Islam.
Ketika melihat fenomena bahwa hanya segelintir wanita muslim yang mengenakan jilbab khususnya di Indonesia dari masa ke masa, tapi tidak dengan era globalisasi seperti sekarang ini sudah cukup banyak wanita muslim yang sadar akan kewajiban mereka untuk mengenakan jilbab. Hal tersebut merupakan kemajuan yang bagus untuk umat Islam. Akan tetapi apabila dikembalikan kepada niat masing-masing individu untuk mengenakan jilbab tentu lain persoalannya. Terlepas dari niat dan penilaian individu tersebut mengenai jilbab dan penafsiran setiap individu terhadap jilbab yang mereka kenakan sudah sesuai atau tidak dengan syariat Islam. Tentu umat muslim patut bangga dengan perkembangan tersebut. Tinggal meluruskan kembali niat mengenakan jilbab itu sendiri dan penafsiran terhadap jilbab. Karena banyak kaum wanita yang mereka yakin bahwa jilbab yang mereka kenakan sudah sesuai aturan karena menutupi kepala dan dada, tapi apabila dikenakan dengan pakaian yang ketat dan membentuk lekuk tubuh apakah itu bisa kita sebut dengan mengenakan jilbab? Jangan sampai kita menilai jilbab hanya sebagai budaya saja kita harus lebih memahami hakikat jilbab itu sendiri agar jilbab tidak hanya sebagai fashion tapi juga ideologi yang harus dipertahankan. Ainun Najib pernah berbicara tentang jilbab, dalam esainya beliau mengatakan “Jilbab memang merupakan budaya arab, tapi secara fungsional jilbab bukan hanya produk budaya tetapi juga sebagai penutup aurat wanita”.
Jilbab jangan sampai hanya dijadikan budaya dan tren yang menarik, tapi juga hiasi dengan niat yang tulus untuk memurnikan hakekat jilbab yang sesungguhnya. Jilbab sebagai ideologi harus dipertahankan tapi perkembangan zamanpun tak bisa ditepis, maka tak ada salahnya ketika ideologi itu telah tertanam maka fashion pun bisa mengikuti dengan koridor-koridor yang sesuai tanpa menghilangkan hakekat jilbab itu sendiri .