Senin, 10 September 2012

Analisis Transformasi Kehidupan Pelukis dalam Novel Ziarah Karya Iwan Simatupang Melalui Pendekatan Objektif



Oleh
Midi Hardiani (109013000100)


Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
2012




ABSTRAK
Analisis Transformasi Kehidupan Pelukis dalam Novel Ziarah Karya Iwan Simatupang Melalui Pendekatan Objektif

Nama: Midi Hardiani, NIM: 109013000100, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Makalah 2012, 27 Halaman.

Makalah ini bertujuan: (1) Dapat memahami unsur intrinsik novel Ziarah karya Iwan Simatupang. (2) Dapat memahami tokoh pelukis dalam Ziarah karya Iwan Simatupang melalui pendekatan Objektif.
Pendekatan yang digunakan dalam makalah ini menggunakan pendekatan objektif, objek penelitian adalah transformasi kehidupan pelukis dalam novel Ziarah karya Iwan Simatupang, sumber data yang dipakai adalah sumber data primer dan sumber data sekunder, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik kepustakaan, dan teknik analisis yang digunakan adalah teknik membaca heuristik.
Unsur Intrinsik dapat disimpulkan bahwa tema dalam novel Ziarah karya Iwan Simatupang adalah “Dua dunia yang berbeda (kehidupan dan kematian)”, alur dalam novel Ziarah menggunakan alur sorot-balik atau flash-back, tokoh dalam novel Ziarah yaitu terdiri tokoh utama (Pelukis dan Opseter) dan tokoh tambahan (Istri Pelukis, Walikota, Opseter, Mahaguru, Ayah opseter kedua, Ibu Hipotesis, Kepala Negara, Perdana Menteri, Brigadir Polisi), latar dalam Ziarah menggunakan daerah tempat (Medan, Kotapraja, Pekuburan, Rumah Dinas Opseter, tepi laut), latar waktu yaitu tahun 1960, dan latar situasi (masyarakat yang memiliki keanehan dan keunikan).
Transformasi tokoh pelukis dalam novel Ziarah karya Iwan Simatupang, apabila dianalisis menggunakan pendekatan objektif; (1)Tokoh pelukis mengalami perubahan perilaku dan pemikiran, (2)Tokoh pelukis dapat menerima kenyataan tentang kematian istrinya, (3)Tokoh pelukis menemukan arti dari kehidupan dan kematian.

Kata kunci: Transformasi, tokoh pelukis, novel Ziarah, Pendekatan Objektif




DAFTAR ISI


DAFTAR ISI .............................................................................................................................................................................. i
BAB I    PENDAHULUAN....................................................................................................................................................... 1
A.      Latar Belakang........................................................................................................................................... 1
B.      Rumusan Masalah.................................................................................................................................... .2
C.      Tujuan.......................................................................................................................................................... 2
BAB II   BIOGRAFI PENGARANG....................................................................................................................................... 3
BAB III UNSUR-UNSUR INTRINSIK................................................................................................................................... 7
A.      Tema ........................................................................................................................................................... 7     
B.      Sudut Pandang........................................................................................................................................... 8     
C.      Latar/Setting …………………………………………………………………………………...............…8
D.      Alur/Plot ………………………………………………………………………………………................11
E.       Tokoh dan Penokohan ………………………………………………………........................................14
F.       Gaya Bahasa ……………………………………………………………………......................................19
G.      Amanat ………………………………………………………………………….......................................20
BAB IV  ANALISIS TOKOH PELUKIS DALAM NOVEL ZIARAH
              MELALUI PENDEKATAN OBJEKTIF................................................................................................................... 21
BAB V   SIMPULAN................................................................................................................................................................ 26  
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................................................ 27


BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang

Karya sastra Iwan Simatupang tahun 1960, 'Ziarah', merupakan karya sastra yang menarik dan berbeda dibandingkan dengan karya sastra Indonesia lainnya. Ziarah banyak mendapat kritik dari para pakar sastra karena isi ceritanya melibatkan budaya Barat dan menganggap Iwan Simatupang sebagai pengarang borjuis. Dalam penerbitannya, Ziarah mengalami kesulitan hingga akhirnya Ziarah dapat diterbitkan pada tahun 1969 berkat surat rekomendasi yang dikirim oleh HB. Jassin dan Bangun Siagian ke penerbit.
Novel “Ziarah” pada umumnya sulit dimengerti oleh pembaca biasa, sehingga untuk memahami Ziarah, pembaca perlu menggunakan kesadaran filsafat tentang kehidupan dan kematian manusia, pemberontakan, dan kesadaran sosial. Ziarah merupakan novelnya yang kedua setelah Merahnya-merah. Ziarah dianggap sebagai pembaharu sastra modern karena keluar dari konvensi tradisi hikayat dan menggunakan bahasa filsafat dan tokoh yang disamarkan.
Dengan segala kerumitannya novel Ziarah memiliki sisi yang menarik yaitu melalui penggambaran tokoh yang dikenal tanpa nama, para tokoh dikenal dengan nama-nama profesi tokoh tersebut seperti; bekas pelukis, opseter, walikota dan sebagainya, karena tak memiliki nama maka jika tokoh tersebut beralih profesi maka penyebutan namanya pun sesuai profesi yang digelutinya pada saat itu. Selain penyebutan nama yang menarik tersebut Ziarah juga menceritakan tentang dua pusat dunia yaitu kehidupan yang digambarkan oleh tokoh bekas pelukis yang merupakan manusia yang bebas tanpa aturan hidup, tetapi semasa hidupnya ia membuat karya-karya yang luar biasa sehingga dapat dikenang oleh orang lain bila ia mati. Sedangkan pusat dunia yang kedua yaitu kematian (perkuburan) yang digambarkan oleh tokoh opseter yang sebagian besar hidupannya adalah kehidupan pertapaan dan dihabiskan di daerah perkuburan saja, ketika mati pun ia tidak meninggalkan apa pun yang dapat dikenang.

1.2 Rumusan Masalah
1.       Bagaimana unsur intrinsik dalam novel Ziarah karya Iwan Simatupang?
2.       Bagaimana memahami tokoh pelukis dalam Ziarah karya Iwan Simatupang melalui pendekatan Objektif ?
2.3    Tujuan
1.         Dapat memahami unsur intrinsik novel Ziarah karya Iwan Simatupang.
2.         Dapat memahami tokoh pelukis dalam Ziarah karya Iwan Simatupang melalui pendekatan Objektif.

BAB II
BIOGRAFI PENGARANG


2.1    Biografi Pengarang

Iwan Maratua Dongan Simatupang, atau banyak dikenal dengan Iwan Simatupang dilahirkan di Sibolga, Sumatera Utara, 18 Januari 1928. Masuk Fakultas Kedokteran di Surabaya pada tahun 1953. Kemudian, akhir 1954 dia menuju Amsterdam, Belanda untuk belajar atas beasiswa Sticusa (Stichting voor Culturele Samenwerking), bidang antropologi di Fakulteit der Letteren, Rijksuniversiteit, Leiden, lalu masuk jurusan Filsafat Barat Universitas Sorbonne, Paris, Perancis. Ketika di Belanda, sejak 1955 sampai 1958, Iwan giat menulis di majalah Gajah Mada, terbitan Yogyakarta. Artikelnya mencakup esai sastra, drama, film, dan seni rupa.
Ketika di Belanda, sejak 1955 sampai 1958, Iwan giat menulis di majalah Gajah Mada, terbitan Yogyakarta. Artikelnya mencakup esai sastra, drama, film, seni rupa, juga ihwal kebudayaan pada umumnya. Selama studi Antropologi dan Sosiologi di Amsterdam, Iwan pun mengarang drama. Tahun 1957 lahir dramanya berjudul Buah Delima dan Bulan Bujur Sangkar. Tahun berikutnya, dia tulis drama Taman. Saat diterbitkan drama itu diberi judul Petang di Taman.
Iwan pernah menjadi guru, wartawan, pengarang cerpen dan puisi, selain menulis esai, drama dan novel. Puisinya pertamanya dipublikasikan berjudul Ada Dukacarita di Gurun, dimuat majalah Siasat edisi 6 Juli 1952. Sajaknya yang lain adalah Ada Dewa Kematian Tuhan, Apa kata Bintang di Laut, dan Ada Tengkorak Terdampar di Pulau Karang. Puisi-puisi itu dimuat di majalah Siasat Baru edisi 30 Desember 1959. Selanjutnya, judul-judul cerpen Iwan adalah Monolog Simpang Jalan, Tanggapan Merah Jambu tentang Revolusi, Kereta Api Lewat di JauhaI, Patates Frites, Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu, Tegak Lurus dengan Langit, Tak Semua Tanya Punya Jawab dan lain-lain.
Sebagai wartawan Iwan menulis banyak sketsa tentang orang-orang tersisih terpinggirkan. Misalnya, Iwan menulis di kolomnya itu, Oleh-oleh untuk Pulau Bawean, Prasarana; Apa Itu Anakku?, Aduh… Jangan Terlalu Maju, Atuh!, Husy! Geus! Hoechst!, Di Suatu Pagi, Seorang Pangeran Datang dari Seberang Lautan, dan Dari Tepi Langit yang Satu ke Tepi Langit yang Lain.
Iwan mendapat hadiah penghargaan untuk cerita pendeknya dalam Erwin Gastilla di Filipina, dan hadiah untuk karya nonfiksi dari Mrs. Judi Lee dari Singapura. Dan Ziarah Novel yang dipersembahkannya buat Corry sebagai wujud ziarahnya ini memenangkan sayembara Unesco/Ikapi tahun 1968. Tokoh-tokoh dalam cerita Iwan adalah manusia terpencil, kesepian, terasing, dilanda tragedi, perenung, dan cenderung murung. Tokoh-tokoh dalam karyanya menurut Iwan sendiri adalah manusia perbatasan, manusia eksistensialisme. Maka ada beberapa kalangan penikmat karya-karya Iwan, menilai karangan-karangan Iwan sulit dicerna. Karangan-karangan Iwan bertokoh manusia-manusia yang tidak masuk akal atau manusia aneh. Tapi, di sinilah kekhasan karya Iwan, yang membedakannya dengan karya-karya para pendahulunya.
Dalam kesusastraan Indonesia, ia merupakan seorang pengarang terkenal dan pelopor pembaharuan novel Indonesia berkat karyanya merahnya Merah (1968), Ziarah (1969), dan Kering (1972). Kepengarangannya pernah dibahas oleh Dami N. Toda dalam Novel Baru Iwan Simatupang (1980), Faruk H.T. dalam skripsi Merahnya Merah Iwan Simatupang (1981), V.M Nilawati Hadisantora dalam skripsi Absurdity and Revolt in Albert Camus’s The Stranger and Iwan Simatupang’s Ziarah (1982)[1]. Iwan boleh dikatakan sebagai penulis prosa dengan cara baru yaitu antiplot dan antikarakter[2].

2.2    SINOPSIS
Di sebuah kota yang bernama Kotapraja, terdapat seorang Pelukis terkenal di seluruh negeri yang dibuat terkapar tidak berdaya dan trauma setelah ditinggal mati istrinya yang sangat dia cintai yang ia nikahi dalam perkawinan secara tiba-tiba ketika Pelukis mencoba bunuh diri karena ketenaran karya lukisnya yang memikat semua orang di jagat bumi ini mengakibatkan ia memiliki banyak uang dan membuat dirinya bingung. Karena kebingungannya ini sang Pelukis berniat bunuh diri dari lantai hotel dan ketika terjun dia menimpa seorang gadis cantik. Tanpa diduga, sang Pelukis langsung mengadakan hubungan jasmani dengan gadis itu di atas jalan raya. Hal ini membuat orang-orang histeris dan akhirnya seorang Brigadir Polisi membawa mereka ke kantor catatan sipil dan mengawinkan mereka.
Pelukis pun hidup bahagia dengan wanita yang ia kenal secara tiba-tiba tersebut. Namun kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Hal tersebut disebabkan oleh kematian istrinya. Pelukis kemudian pergi ke kantor sipil untuk mengurusi penguburan istrinya, tetapi tidak ada tanggapan positif dari pengusaha penguburan. Itu terjadi karena Pelukis tak tahu apa-apa tentang istrinya dan ia tak menyukai hal-hal yang dipersulit. Yang dia tahu hanyalah kecintaannya pada istrinya. Sehingga mayat istrinya terkatung-katung karena tak memiliki surat penguburan yang sah. Pelukis pun menghilang ketika penguburan istrinya dan pada saat itu pula ia tak lagi menjadi pusat perhatian.
Kemudian pengusaha penguburan menyesali perbuatannya dan dengan keputusan Walikota akhirnya mayat istri pelukis dikuburkan. Sampai penguburan usai,  Pelukis tak kelihatan. Saat kembali ke gubuknya, dia melihat wanita tua kecil yang ternyata adalah ibu kandung dari istrinya. Bercerita panjang tentang masa lalunya yang suram dan sampai saat terakhir dia bertatapan dengan anaknya yang justru membuat dilema bagi si anak. Sesaat kemudian Pelukis memandangi keadaan sekitar yang penuh karangan bunga, membuang bunga-bunga tersebut ke laut kemudian membakar gubuknya sampai habis. Beberapa bunga yang masih tersisa ia bawa ke kuburan istrinya. Ia titipkan karangan bunga pada centeng perkuburan.
Setelah itu hidup Pelukis semakin tak tentu arah. Ia seolah tak pernah percaya bahwa istrinya telah mati. Pagi harinya hanya digunakan untuk menunggu istrinya ditikungan entah tikungan mana dan malam harinya dituangkan arak keperutnya, memanggil Tuhannya, meneriakkan nama istrinya, menangis dan kemudian tertawa keras-keras. Ia melakukan hal tersebut berulang-ulang kali, seperti orang gila.
Disaat ia terpuruk karena tak menerima kenyataan bahwa istrinya telah meninggal, telah jadi rahasia umum bahwa ia bekerja apa saja namun pekerjaan yang paling ia sukai adalah mngapur atau mengecat. Akhirnya datang Opseter pertama pekuburan yang meminta dia mengapur tembok perkuburan Kotapraja yang sebelumnya telah berbekas pamplet-pamplet polisi bahwa dia dicari. Pelukis menerima tawaran itu dan esoknya ia mulai bekerja mengapur tembok perkuburan Kotapraja itu 5 jam berturut-turut tiap harinya, sedangkan Opseter perkuburan mengintip dari rumah dinasnya. Pekerjaan baru Pelukis ini membawa perubahan tingkah laku pelukis sehingga membuat seluruh negeri geger. Hingga Walikota akan memberhentikan Opseter perkuburan. Tetapi ketika mengantar surat pemberhentian kerja itu, Walikota akhirnya mati karena kata-kata Opseter tentang proporsi. Sebelumnya, pernah terjadi kekacauan di Kotapraja karena Opseter kedua pekuburan memakai rasionalisme dalam kerjanya dan hanya memberi instruksi kerja pada selembar kertas pada pegawainya.
Setelah beberapa hari Pelukis mengapur tembok perkuburan, pada suatu hari dia bergegas pulang sebelum lima jam berturut-turut. Opseter perkuburan heran kemudian mendatanginya dan ternyata Pelukis ingin berhenti bekerja. Opseter kebingungan tetapi Pelukis menjelaskan bahwa dia tahu maksud opseter memperkerjakannya. Bahwa selain untuk kepentingan Opseter sendiri, Opseter ingin Pelukis menziarahi istrinya yang sudah tiada itu. Keesokan harinya Opseter ditemukan gantung diri.
Pekuburan geger, tetapi hanya sedikit sekali empati dari pegawai-pegawai pekuburan. Penguburan Opseter berlangsung cepat. Setelah penguburan, Pelukis bertemu Maha guru dari Opseter yang kemudian menceritakan riwayat Opseter. Pada akhirnya Pelukis pergi ke balai kota untuk melamar menjadi opseter pekuburan agar ia dapat terus-menerus berziarah pada mayat-mayat manusia terutama pada mayat istrinya.

BAB III
UNSUR INTRINSIK KARYA

3.1    Tema
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.[3]
Tema dalam novel ini adalah mengenai dua dunia yang berbeda (kehidupan dan kematian) yang saling bertentangan. Dilukiskan oleh kedua tokoh utamanya yaitu ‘tokoh kita’ atau Pelukis dan Opseter perkuburan. Pelukis sebagai gambaran kehidupan, sangat membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan maut, termasuk opseter dan pekuburan. Ia adalah manusia yang bebas tanpa aturan-aturan . Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Tokoh kita tak suka pada opseter ini, sebagaimana dia tak menyukai siapa saja yang lapang kerjanya sedikit banyak ada hubungannya dengan orang mati.” (Ziarah: hlm. 6)
“Begitu malam jatuh, perutnya dituangkannya arak penuh-penuh, memanggil Tuhan keras-keras, kemudian meneriakkan nama Istrinya keras-keras, menangis keras-keras, untuk pada akhirnya tertawa keras-keras.” (Ziarah: hlm. 1)
Opseter perkuburan sebagai gambaran dari kematian, karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di kediamannya (kawasan perkuburan) seperti manusia prasejarah, opseter pekuburan seolah melakukan tahap pemutusan hubungan antara dia dan masyarakat, walaupun di pekuburan ia masih menjumpai para pegawainya dan dengan mereka masih terjaga hubungan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan:
“Disini memang tempatnya sejarah berhenti. Dari segi ini saja, saudara sudah seharusnya pergi dari sini. Saudara telah memberikan gambaran tentang diri saudara sebagai manusia prasejarah.” (Ziarah: hlm. 16)

“Saya tak tahu. Bagi saya sendiri, apa yang disebut filsafat itu adalah satu segi tertentu saja dari seluruhnya tambah adanya saya. Menurut dia, segi itu antara lain ada di pekuburan ini.’’  (Ziarah: hlm. 138)

‘’-Kalau tidak. Masakan saya ikut boyong kemari. Setidaknya bagi kami berdua, filsafat adalah kursus dari mati. Dari maut. Pekuburan adalah lembaga perguruan paling tinggi dari filsafat, filsafat sebagai ilmu, filsafat bagi kebajikan.” (Ziarah: hlm. 138)
         
3.2    Sudut Pandang
Sudut pandang, point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pendangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.[4]
Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang ketiga . Dapat dilihat dalam cerita bahwa narator (pencerita) tidak terlibat langsung dalam peristiwa. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Tokoh kita tak suka pada opseter ini, sebagaimana dia tak menyukai siapa saja yang lapang kerjanya sedikit banyak ada hubungannya dengan orang mati.” (Ziarah: 6)

3.3    Latar
Latar cerita adalah tempat umum (general locate), waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat.[5] Latar cerita dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, peristiwa, waktu, peristiwa, serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problema tertentu.[6]
a.       Tempat
·         Perkuburan
Adalah tempat dimana bekas pelukis pekerja sebagai pengapur dan opseter menjalankan tugasnya mengurusi pekuburan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan:
Sudah tiga hari berturut-turut dia mengapur tembok luar pekuburan kotapraja.” (Ziarah: hlm. 11)
·         Rumah dinas opseter
Adalah tempat opseter tinggal di rumah dinasnya.
Tiga hari pula lamanya sang Opseter terus-menerus mengintipnya dari celah-celah pintu dan jendela rumah dinasnya di kompleks perkuburan itu.”(Ziarah: hlm. 11)

·         Hotel
Adalah tempat tinggal Pelukis setelah meninggalkan rumahnya, ia kebingungan dengan banyaknya uang yang ia peroleh maka ia tinggal di hotel. Di hotel pulalah ia bertemu dengan seseorang yang kemudian menjadi istrinya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Dan dia pun keluar saat itu juga. Uangnya disuruh angkutnya dengan cikar ke hotel. Muali hari itu, dia diam di hotel-hotel dan di losmen-losmen.karena ia punya uang banyak sekali, dia dapat menyewa kamar terbaik.“ (Ziarah: hlm. 69-70)
“Dia jatuh... persis atas seorang gadis yang sedang jalan persis di bawah jendela kamarnya di tingkat di tingkat empat hotel itu.“ (Ziarah: hlm. 72)

·         Studio Lukis
Adalah tempat dimana ia menaruh lukisan-lukisannya sekaligus merupakan rumah tempat ia tinggal. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Ketika petangnya dia kembali ke studionya, didapatinya satu lukisannya hilang.” (Ziarah: hlm. 68)
“Lagi pula, di manakah rumah tiap pelukis? Tentu di sanggarnya. Apa dan dimanakah sang pelukis? Tentu di rumahnya.’’(Ziarah : hlm. 70) 

·         Tepi pantai
Adalah tempat pelukis dan istrinya tinggal selama diasingkan oleh warga kota. Di gubuk ini pula lah ia bertemu dengan ibu mertuanya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Letih sekali, mereka berdua akhirnya tiba di pantai. Di situ tak akan ada yang menggubrus mereka. Pelukis segera mendirikan semacam gubuk dari rumbia yanmg diempaskan ombak-ombak ke situ. Setelah istrinya direbahkannya dalam gubuk itu, dia cepat lari ke kota untuk membeli makanan dan perabot sederhana.“ (Ziarah: 77)
Dia terkejut. Depan gubuknya tegak sesosok tubuh kecil. Kerut-kerut wajahnya merentangkan suatu senyum dan dicoba-coba, dibuat-buat. Pelukis tertegun, mundur dua langkah. Gigil menyusup dalam tubuhnya. –Nyonya siapa?” (Ziarah: 118
·         Medan
Secara eksplisit novel ziarah berlatar di daerah medan. Yang terdapat pada kutipan:
“Bah! Itulah dia makhluk-makhluk yang teramat dibencinya, dihinanya selama ini.” (Ziarah: hlm. 25)
b.       Situasi
Situasi dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problema tertentu. Dalam Ziarah situasi masyarakat digambarakan sebagai masyarakat yang memiliki beberapa keanehan dan keunikan tersendiri. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan:
“Sebelum dia memborong pekerjaan mengapur tembok-tembok luar pekuburan itu, orang-orang di kedai sudah biasa dengan tingkah anehnya. Kini dia jadi perhatian umum, perbincangan seluruh kota. Dengan was-was mereka mengamati tingkahnya yang sudah tak aneh lagi itu. Seolah-olah ketakanehan adalah sendiri keanehan!” (Ziarah: hlm. 11)  
“Perubahan tingkah pengapur ini mempengaruhi tingkah seluruh warga kota. Mereka tak dapat memahami perubahan itu. Mereka melihat pada perubahan itu hanya pertanda bakal datangnya satu perubahan tak baik dan perubahan tak menyamankan bagi mereka semuanya. Tiap mereka itu begitu dipengaruhi kejadian dan pemikiran-pemikiran yang diakibatkannya, hingga lambat-laun tiap mereka merasa datangnya perubahan pada diri mereka masing-masing. Mereka merasa mereka yang kini adalah lain daripada mereka sebelumnya.” (Ziarah: hlm. 11)
Melihat penguburan yang tampaknya bakal berakhir dengan semacam piknik di bawah pohon ini, walikota merasa disengat perasaan tanggungjawabnya. Bayangkan! Sekiranya gambar dari orang-orang berbuka baju dan bermain halma di bawah pohon ini dimuat nanti di halaman muka pers luar negeri! Akan bagaimana komentar mereka tentang penghormatan orang di negeri ini terhadap orang mati?“ (Ziarah: hlm. 114)   

c.        Waktu
Latar waktu tidak digambarkan dalam teks secara eksplisit. Waktu diperkirakan sekitar tahun 1960-an. Karena cerita novel Ziarah sebenarnya ditulis Iwan dari tahun 1960-1962 tidak lama sesudah istrinya wafat, sebelum novel Merahnya Merah 1969. Dalam penerbitannya, Ziarah memang mengalami kesulitan hingga akhirnya Ziarah dapat diterbitkan pada tahun 1969 berkat surat rekomendasi yang dikirim oleh HB. Jassin.[7]

3.4    Alur
Alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.[8] Alur yang digunakan pengarang pada novel Ziarah ialah Flash-back atau Sorot-balik.
Flash-back atau Sorot-balik. Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Karya yang berplot jenis ini, dengan demikian langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik, bahkan barangkali konflik yang telah meruncing. Padahal, pembaca belum lagi dibawa masuk mengetahui situasi dan permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik dan pertentangan itu, yang kesemuanya itu dikisahkan justru sesudah peristiwa-peristiwa yang secara kronologis terjadi sesudahnya.[9] Jika digambarkan dalam bentuk skema, plot sorot balik tersebut untuk Ziarah adalah sebagai berikut:

C1                                             A                             B                               C2                                D

Tahapan-tahapan peristiwa dalam novel Ziarah antara lain sebgai berikut:
1.       Tahap situation (tahap penyituasian), tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh (-tokoh) cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.[10]
Dalam Ziarah tahap penyituasian digambarkan pada saat pengenalan tokoh Pelukis dan Opseter serta kebiasaan dan tingkah laku para tokoh tersebut sesuai pekerjaan masing-masing. Dalam tahap ini pelukis digambarkan menjadi seseorang yang aneh semenjak ditinggal oleh istrinya dan ia berkenalan dengan Opseter dan akhirnya ia beralih profesi menjadi Pengapur tembok pekuburan (C1).
2.       Tahap generating circumstances (tahap pemunculan konflik), masalah (-masalah) dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik pada tahap berikutnya.[11]
Tahap pemunculan konflik dalam Ziarah dimulai dengan pernikahan pelukis dengan istrinya (Disini alur mundur, kembali mengisahkan bagaimana pelukis bertemu dengan istrinya). Pernikahan tersebut membuat pelukis hidup bahagia bersama istri yang dicintainya (A).
3.       Tahap rising action (tahap peningkatan konflik), konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari.[12]
Tahap Konflik yaitu pada peristiwa kematian istri pelukis yang menjadi awal penderitaan pelukis, pada tahap inilah pelukis menderita ditinggalkan oleh istrinya. Ia mulai dikenal sebagai pemabuk, sering berteriak-teriak memanggil istrinya, berteriak memanggil Tuhan, dan sering menangis dan tiba-tiba tertawa terbahak-bahak dan ia membenci hal-hal yang berkaitan dengan pekuburan (B).
4.       Tahap climax (tahap klimaks), konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang diakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh (-tokoh) utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama.[13]
Klimaks terjadi saat Opseter menyuruh pelukis mengapur tembok luar perkuburan, kuburan adalah hal yang paling ia benci termasuk juga opseter, semua hal yang berkaitan dengan pekuburan. Disini dapat dilihat bahwa alur kembali pada pertemuan pelukis dan opseter. Pelukis seolah dihantam badai mendengar tawaran tersebut namun akhirnya dengan negosiasi tawaran tersebut diterima dan pelukis beralih profesi menjadi pengapur tembok pekuburan (C2), pada tahap ini terlihat kejadian pada penyituasian C1 dilanjutkan kembali ke C2.
5.       Tahap denouement (tahap penyelesaian), konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-subkonflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri.[14]
Tahap penyelesaian dalam Ziarah adalah saat Maha Guru menceritakan riwayat hidup opseter dan akhirnya pelukis atau bekas pelukis dan pengapur itu melamar pekerjaan menjadi opseter pekuburan (D).

3.5    Tokoh dan penokohan
Tokoh cerita (character) adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.[15] Istilah ‘penokohan’ lebih luas pengertiannya daripada ‘tokoh’ sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita.[16]           
a)       Tokoh kita/Pelukis/Pengapur
Pelukis adalah tokoh kehidupan, manusia bebas, tak suka akan aturan-aturan, hidupnya mengikuti alam semesta. Sebelum istrinya mati meninggalkannya ia adalah pelukis berbakat yang hidupnya sangat bahagia bersama istrinya yang ia nikahi dengan cara tak lazim tersebut, karya-karyanya dikagumi orang-orang dari mancanegara. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Dia dulu hanya pelukis, titik. Gagasan seni yang muluk-muluk, dia tak punya. Seluruhnya diserahkannya kepada pergeseran dirinya dengan alam semesta.’’(Ziarah : hlm. 67) 
’’Tapi, justru lukisan-lukisannya yang lahir dari demam tanpa klimaks inilah yang menurut pada kritikus bermutu amat baik.” (Ziarah : hlm. 68)
‘’Dari seluruh negeri berdatangan tokoh-tokoh negara dan kebudayaan menghadiri resepsi tersebut.’’ (Ziarah : hlm. 76)

Tapi, setelah ditinggal istrinya ia berubah menjadi pemabuk dan bertingkah layaknya orang gila yang suka menangis, tertawa, dan berteriak memanggil nama istrinya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Begitu malam jatuh, perutnya dituangnya arak penuh-penuh, memanggil Tuhan keras-keras, kemudian meneriakkan nama istrinya keras-keras, menangis keras-keras, untuk kemudian pada akhirnya tertawa keras-keras. Tawa keras-keras ini menjadi isyarat bagi orang-orang untuk menuntunnya pulang, ke satu kamar kecil, di satu rumah kecil, di pinggir kota kecil.” (Ziarah: hlm. 1)
Setelah beralih profesi menjadi seorang pengapur ia adalah orang yang ulet, menyenangi pekerjaannya dan bertanggungjawab. Namun ia sangat tidak suka pekerjaan yang berkaitan dengan pekuburan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Dan oleh sebab dia memang tenaga yang sungguh-sungguh, artinya dalam batas-batas paling banyak lima jam berturut-turut sehari, mereka suka sekali menggunakan tenaganya. Kerja apa saja diterimanya. Mencuci piring di kedai, menjaga orok di rumah yang orang tuanya perlu bepergian, membersihkan pekarangn rumah, menjadi kacung bola tenis, dan seterusnya. Tapi bila ditanyakan kepadanya jenis kerja mana yang paling suka dilakukannya, dengan mata bersinar-sinar dia akan menjawab: mengecat, atau mengapur rumah.” (Ziarah: hlm. 5)
“Tokoh kita tak suka pada opseter ini, sebagaimana dia tak menyukai siapa saja yang lapang kerjanya sedikit banyak ada hubungannya dengan orang mati.” (Ziarah: 6)
Setelah menjadi pengapur tembok pekuburan pikiran dan sikapnya banyak mengalami perubahan dan akhirnya dapat menerima kenyataan bahwa istrinya telah tiada dan ia ingin merawat kuburannya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
‘’..Maksud saudara adalah memaksa saya ziarah kekuburan istri saya. Dua perbuatan, yang satu sma linnya berbeda sekali sifatnya. Tapi saudara telah tidak hanya memperkosa logika sampai disini saja. Saudara mengetahui al ;asan-alasan keberatan saya terhadap ziarah. Yang di dalam tanah ini bukanlah istri saya lagi. Sedikitpun ia tak punya sangkut paut apa-apa dengan saya, dengan orang yang dulu jadi istri saya. Istri saya telah mati, kata orang. (Ziarah :127)
“Istri saya dikubur disini. Seorang, yang barusan saja melalui bapak saya ketahui adalah teman saya yang sesungguhnya, kemarin dikubur disini. Saya ingin selalu dekat dengan mereka, ingin dalam keadaan yang secara terus menerus menziarahi mereka. Nanti bapak lihat, kekosongan disini adalah juga kehidupan. Suatu jenis kehidupan tertentu.” (Ziarah : 141)
b)       Opseter Pertama
Adalah seorang opseter pekuburan kotapraja yang sudah separoh baya yang menyuruh bekas pelukis untuk mengapur tembok pekuburan untuk pertama kalinya. Karena hidupnya banyak dihabiskan dipekuburan maka ia pun ingin menemukan kenikmatan penyiksaan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan:
“Sedang asyiknya dia bersiul-siul dengan membanting langkah-langkahnya di kakilima itu, dia berpapasaan dengan seorang separoh baya,  yang menurut orang sekotanya adalah opseter pekuburan kotapraja.” (Ziarah: hlm. 6)
“Dengan ragu-ragu, opseter berjalan pelan-pelan disamping tokoh kita.-Saya ingin saudara mengapur tembok-tembok luar kotapraja yang saya awasi..”(Ziarah: hlm. 7)
“Dia memang sengaja menyediakan pekerjaan itu khusus baginya. Bukan tak ada tukang cat dan kapur lainnya yang ia kenal dan mau mengerjakan pekerjaan itu baginya. Tapi, dia mesti memberi kerja itu padanya. Sebab justru is tahu benar Siapa dia! Apa dia! Bagaimana dia! Dia telah banyak mendengar tentang riwayatnya dan tiba-tiba saja muncul ketika itu kehendak dalam dirinya untuk mencoba mencari kenikmatan dalam penyiksaan.”(Ziarah: hlm. 9)


c)       Opseter Kedua
Adalah seorang mahasiswa filsafat yang mengasingkan dirinya dengan bekerja menjadi seorang opseter. Ia adalah putera satu-satunya dari Hartawan yang kaya. Ia adalah mahasiswa yang pintar, cedas, selalu berfikir secara berdisiplin dan kritis. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Walaupun  dia sama sekali belum pernah menerima pendidikan teknik ataupun pertukangan, namun berkat kecerdasan otaknya, dan terutama berkat kebiasaan berfikir secara berdisiplin dan kritis selama sekian tahun mengikuti kuliah-kuliah filsafat, ditambah dengan jiwa artistiknya dan daya fantasinya yang sangat potensial, maka seluruh kejuruan dan ketangkasan yang diharapkan dari seorang opseter pengawas perkuburan segera dapat dimilikinya.” (Ziarah: hlm. 32)
“Penglihatan saya sehari-hari di lapangan pekerjaan saya yang kini mengatakan kepada saya, bahwa harta dan kekayaan berhenti mempunyai arti persis pada tembok-tembok luar pekuburan. Selanjutnya, filsafat murni hanya di dapat pada suasana di sebelah dalam dari tembok-tembok itu. Janganlah usik-usik saya lagi di masa yang akan datang. Sayalah kekayaan. Sayalah kebajikan.”(Ziarah: hlm. 46)
d)       Istri Pelukis
Seorang istri yang mau menerima suaminya dengan apa adanya, dari dia lah suaminya (pelukis) banyak belajar. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Dan laki-laki yang menjadi suaminya kini, adalah hanya sebagian saja dari kenyataan itu. Oleh sebab itu, dia menerimanya tanpa menanyakan kartu nama maupun kartu penduduknya terlebih dahulu. Tanpa menanyakan kartu jenis darahnya dari palang merah. Dia menerima kepelukisannya.” (Ziarah: hlm. 97)
“-Judulnya adalah: Di sorga tak ada kartu nama.(Ziarah: 89)
e)       Mahaguru
Seorang Mahaguru di Sebuah Universitas Ilmu Filsafat. Orang yang bijaksana, karena meskipun dia adalah seorang Mahaguru namun ia masih mau belajar dari muridnya (Opseter kedua). Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Sungguh banyak yang telah saya pelajari dari dia. Lebih banyak lagi yang bakal saya terima dari dia. Tiap hari saya mengajukan pertanyaan padanya, sekedar untuk memancing pelajaran bagi dirinya sendiri.” (Ziarah: hlm. 136
f)         Ayah Opseter kedua
Seorang ayah sekaligus hartawan yang kaya raya, sangat menyayangi dan peduli terhadap anaknya, serta ingin anaknya mewarisi semua harta kekayaannya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“.... Adakah seorang muda yang tampan seperti dia, kaya raya seperti dia, dan pintar seperti dia, layak menghabiskan tahun-tahunnya di sekitar perkubuuran tuan itu?” (Ziarah: hlm. 43)
g)       Walikota 1
Tokoh yang pendendam namun ia menyembunyikan rasa dendamnya, ia tidak menyukai warga kotanya, ia menjadi walikota karena ingin menuntaskan manusia-manusia kerdil dekil, yang selama ini tak sedikit pun mendapat penghargaan.
“Ia menerima pemilihan dan pengangkatannya sebagai walikota dulu hanya untuk sekedar menggunakan kedudukannya sebagai kesempatan sebaik-baiknya untuk pada suatu saat nanti membalaskan dendamnya pada mereka, pada manusia-manusia dari jenis mereka, kerdil, dekil, pandir, bernaluri makan dan pakaian saja, tak lebih.” (Ziarah: hlm 1 9)
h)       Wakil Walikota
Seorang wakil walikota yang tidak egois, selalu mengalah, dan bertanggungjawab.
“Selamat! Saudara saya doakan bakal jadi walikota seumur hidup. Ah! Saudara memang manusia berbahagia.” (Ziarah: hlm. 85)
i)         Kepala Negara
Seorang pemimpin yang bijaksana dan berwawasan filsafat.
Pada suatu hari, kepala negara memiliki pesawat terbang pribadinya dan terbang ke kota kecil tempat tinggal opseter perkuburan muda yang telah menjadi biang keladi dari seluruh heboh dan malapetaka yang menimpa negeri yang sedang dikepalainya.” (Ziarah: hlm. 37)
j)        Perdana Menteri
Seorang perdana menteri yang memiliki sifat sentimentalitas dan tidak suka terhadap segala sesuatu yang berbau filsafat.
Dalam pidato pengangkatannya sebagai kepala negara yang baru, beliau meminta kepada perdana menteri baru yang masih bakal diangkat lagi, agar nanti sudi mencantumkan sebagai program kerjanya, diantaranya membatasi arti dan pengaruh Shakespeare dan pengarang-pengarang lainnya hanya sampai bidang-bidang kesenian dan kebudayaan saja.” (Ziarah: hlm. 40)
k)       Ibu Hipotesis
Adalah Ibu dari Istri Pelukis yang telah lama meninggalkannya di Panti Asuhan sejak Ia masih kecil. Nona tua ini ialah korban pemerkosaan oleh serdadu-serdadu pada saat perang. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Jadi wanita ini rupanya ingin berkata, bahwa anak hipotesisnya itu adalah seorang perempuan, dan bahwa saya… sebagai menantu hipotesisnya, tentulah menurut teorinya yang hipotesis itu kawin dengan anak hipotesisnya itu..” (Ziarah: hlm. 119)
l)          Brigadir polisi
Bersifat baik hati dan pengertian, tidak mengambil keputusan semata-mata karena hukum dan Undang-undang, melainkan memikirkan sisi kemanusiaan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“....Kebahagiaan yang sedang mereka nikmati kini hendaklah sepenuhnya dan seutuhnya dapat mereka nikmati. Ah, persetan dengan undang-undang dengan hukum, terlebih dengan hukuman! Katanya, dan ia bergegas pulang ke rumahnya.” (Ziarah: hlm 76)

3.6    Gaya Bahasa
Gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.[17]
Gaya bahasa yang digunakan Iwan Simatupang pada Ziarah banyak menggunakan ungkapan-ungkapan unik dengan simbol-simbol yang kaya membuatnya menjadi penuh dengan pengertian yang dalam mengenai kehidupan dan kematian. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Tiba-tiba, satu garis lurus dilihatnya turun dari langit dan dengan cepatnya menuju ke arahnya. Garis itu makin tebal makin panjang, makin kencang datang menyerbu ke arahnya. Dia tak dapat mengelak lagi... dia berteriak.” (Ziarah: hlm. 19)

Selain itu ditemukan beberapa gaya bahasa atau majas, antara lain sebagai berikut:
1.       Majas Personifikasi
Personifikasi adalah bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Benda-benda mati seolaholah bisa berperilaku, berperasaan dan memiliki karaktermanusia lainnya.[18] Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Rasa riang mendaki dalam dirinya.’’(Ziarah: hlm. 2)
“Oleh praktek-praktek menjilat atasannya dan menindas bawahannya.”(Ziarah: hlm. 20)

2.       Majas hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa untuk membesar-besarkan sesuatu agar terasa bombastis.[19] Hiperbola yang digunakan dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Tuan adalah nabi seni lukis masa datang.’’(Ziarah: hlm. 69)

Dengan berlatar belakang pendidikan filsafatnya di Prancis, ia juga banyak memakai bahasa yang berbau filsafat. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
Balas dendam memerlukan persiapan, pemikiran, memerlukan sistem filsafat tersendiri yang merentangkan isi, tujuan, faedah dan dalih balas dendam itu nanti kepada dirinya sendiri, kepada anak cucunya dan apabila masih ada juga umat manusia dan kemanusiaan sesudah kurun sejarah kini-juga kepada umat manusia dan kemanusiaan yang akan datang.” (Ziarah: hlm. 20)
3.7    Amanat
a)       Kematian tidak perlu ditakuti, sebab dia abadi. Apa yang abadi, pastilah itu yang terbaik (neraka ataupun surga), hal tersebut tersirat pada Ziarah hal: 109.
b)       Sudah tiba saatnya salah seorang ahli sastra menyusun suatu bunga rampai puisi kuburan. Siapa tahu, bunga rampai seperti tersebut dapat menghembuskan nafas baru dalam dunia persajakan, dalam persajakan dunia. Hal tersebut tersirat pada Ziarah  hal: 132.
c)       Sediakanlah  tempat yang layak untuk orang-orang yang sudah mati agar ada tempat untuk dikunjungi dan dikenang. Karena sebagai manusia puncak tertinggi dari kehidupannya adalah kematian.


BAB IV
ANALISIS TOKOH PELUKIS DALAM NOVEL ZIARAH MELALUI PENDEKATAN OBJEKTIF

Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apapun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri. Pendekatan objektif dengan demikian memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur, yang dikenal dengan analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik, seperti aspek historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya, termasuk biografi. Oleh karena itulah, pendekatan objektif disebut analisis otonomi, analisis ergocentric, pembacaan mikroskopi. Pemahaman dipusatkan pada analisis terhadap unsur-unsur dalam dengan mempertimbangkan keterjalinan anatarunsur di satu pihak, dan unsur-unsur dengan totalitas di pihak yang lain.[20]
Tokoh dalam karya sastra terkadang merupakan sesuatu yang sangat penting dan sering kali ditonjolkan. Melalui tokoh pula lah pesan dalam sebuah cerita disampaikan. Apabila dalam novel pada umumnya dijumpai penggambaran tokoh yang secara serta merta dan apa adanya, namun lain halnya dalam Ziarah. Iwan Simatupang memaksa pembaca untuk memahami karakter tokoh dan kebiasaannya dari bagaimana ia menjalankan profesinya di masyarakat.
Dalam novel Ziarah yang paling menonjol adalah nama (panggilan) tokoh-tokohnya yang bukan nama diri pribadi. Tokohnya hanya disebut ‘tokoh kita’. Kata ‘kita’ menyaratkan situasi makna kepemilikan kolektif. Tokoh tersebut menjadi tokohnya sang pengarang sekaligus tokohnya para pembaca, tokoh kita semua. Frase ini menyarankan situasi kekitaan, tokoh ini menjadi milik bersama. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Tokoh kita tak suka pada opseter ini, sebagaimana dia tak menyukai siapa saja yang lapang kerjanya sedikit banyak ada hubungannya dengan orang mati.” (Ziarah: 6)
‘’Geledek seolah menggegar dalam tubuh opseter kita.“ (Ziarah: hlm. 10)

Karena pengarang menulis tokoh kita, maka pembaca seolah memiliki pula tokoh tersebut. Hal itu menyiratkan bahwa Tokoh milik kita. Bukan milik saya (pengarang pribadi) atau siapapun. Tapi milik bersama, pengarang dan pembaca.
Tokoh utamanya disebut juga ‘bekas pelukis’ ‘bekas  pengapur’ dan ‘dia’. Tokoh ini berjenis kelamin pria karena ia menikahi seorang gadis yang kemudian diberi panggilan ‘istri pelukis’. Dalam menganalisis tokoh pelukis dalam Ziarah setidaknya ada tiga hal yang difokuskan. Antara lain: gambaran fisik tokoh, penyebutan nama, dan perubahan perilaku atau pemikiran tokoh.
Gambaran fisik tokoh Pelukis tidak terlalu jelas digambarkan oleh pencerita, namun ada beberapa petunjuk yang memberikan sedikit gambaran tentang ciri fisik tokoh, hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
‘Dia menerima tubuhnya yang kerempeng itu. Dia menerima tahi lalat di sebelah kanan bibir atasnya. Dia menerima nafsu berahinya yang kelewat besar itu..“ (Ziarah: hlm. 97-98)
“Dia tak pernah menyukai orang-orang seperti dia, bekas pelukis yang berubah jadi tukang kapur ini, dengan jidat terlalu lebar, dan muka yang pasti karena tak pernah bertemu sinar matahari.“(Ziarah: hlm. 18)
Dalam kutipan tersebut pembaca diberikan gambaran fisik dari pelukis. Ia digambarkan memiliki tubuh yang kerempeng, memiliki tahi lalat di sebelah kakan bibirnya, jidat yang lebar, dan wajah yang tak pernah bertemu dengan sinar matahari.
Dalam penyebutan nama tokoh, pengarang dengan sengaja membuat para tokoh dalam novel ini tak memiliki nama. Tokoh utama khususnya, ia hanya disebut ‘tokoh kita‘, bekas pelukis, pengapur, atau dia. Bahkan secara jelas disebutkan bahwa pelukis atau tokoh utama bernama NN (No Name), hal tersebut dapat dilihat pada kutipan tersebut :
Nama! Adakah dia tahu nama suaminya? Adakah dia tahu, siapa suaminya? Dia bahkan tak tahu, apakah suaminya ada mempunyai nama atau tidak. Di kantor catatan sipil dulu, sewaktu perkawinan mereka, suaminya menuliskan hanya: Ganda En (NN) saja sambil menyikut dia diam-diam dengan geli.. (Ziarah:96)
Karena tidak memiliki nama, maka di dalam karya ini tokoh memiliki sebutan sesuai dengan pekerjaan atau jabatannya dalam masyarakat. Tokoh pertama kali muncul sebagai seorang ‘pelukis’ dan ketika ia tak mau melukis lagi setelah istrinya meninggal akhirnya beralih pekerjaan menjadi seorang pengapur, dan profesi tersebut mempengaruhi panggilan terhadapnya walaupun masih disebut bekas pelukis. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Akhirnya sampai juga walikota ke pekuburan. Dari jauh dia telah lihat bekas pelukis itu sedang mengapur.“ (Ziarah: hlm. 14)
Seiring dengan bergantinya profesi tokoh kita dari seorang pelukis menjadi seorang pengapur, terlihat banyak perubahan yang ia alami dari segi sikap maupun pemikiran. Pada saat menjadi pelukis ia termasuk pelukis yang berbakat dan diprediksikan mempunyai masa depan yang baik. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Kata orang --dan ini dibenarkan oleh kritikus-kritikus terkemuka—dia seorang pelukis berbakat sekali dan mempunyai masa depan baik.“(Ziarah: hlm. 5)
Kemudian setelah istrinya meninggal hidupnya pun berubah. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Begitu malam jatuh, perutnya dituangnya arak penuh-penuh, memanggil Tuhan keras-keras, kemudian meneriakkan nama istrinya keras-keras, menangis keras-keras, untuk kemudian pada akhirnya tertawa keras-keras. Tawa keras-keras ini menjadi isyarat bagi orang-orang untuk menuntunnya pulang, ke satu kamar kecil, di satu rumah kecil, di pinggir kota kecil.” (Ziarah: hlm. 1)
Pada kutipan tersebut digambarkan bahwa setelah istrinya meninggal pelukis hidupnya seolah mengalami kehancuran, ia memanggil-manggil nama istrinya seperti orang gila. Dan satu hal yang ia tidak suka dan sangat ia benci adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pekuburan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
‘‘Tokoh kita tak suka pada opseter ini, sebagaimana dia tak menyukai siapa saja yang lapang kerjanya sedikit banyak ada hubungannya dengan orang mati. Dia ingin cepat-cepat mneyingkir, atau balik kanan, untuk menghindarkan pertemuan dengan tokoh maut itu. ‘’(Ziarah : 6)
Tapi, ketika pada satu hari dia diminta ikut membantu menggali lobang kuburan, matanya terbelalak kencang-kencang. Sejak itu, pendudduk sekotanya thulah kini selera kerjanya : teramat suka mengecat atau mengapur, teramat tidak suka menggali lobang kuburan. Dia pun mereka beri kerja mengecat atau mengapur saja. (Ziarah: 6)
Sudah berapa lama dia tak ziarah? Belum pernah. Istrinya mati, kata orang. Telah dikubur, kata orang. Tapi, dia sendiri tak mau melihat istrinya yang sudah mayat itu.”(Ziarah: hlm. 1)
Pada kutipan terseut jelas memperlihatkan bahwa ia sangat kehilangan istrinya dan oleh sebab itu dia tidak dapat menerima kepergian istrinya sehingga ia seperti orang gila dan tidak menyukai semua hal yang berkaitan dengan pekuburan. Namun setelah opseter menyuruhnya untuk mengapur tembok pekuburan justru pada saat itulah ia mengalami perubahan perilaku. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Sebelum dia memborong pekerjaan mengapur tembok-tembok luar pekuburan itu, orang-orang di kedai sudah biasa dengan tingkah anehnya. Kini dia jadi perhatian umum, perbincangan seluruh kota. Dengan was-was mereka mengamati tingkahnya yang sudah tak aneh lagi itu. Seolah-olah ketakanehan adalah sendiri keanehan!” (Ziarah: hlm. 11) 
“Perubahan tingkah pengapur ini mempengaruhi tingkah seluruh warga kota. Mereka tak dapat memahami perubahan itu. Mereka melihat pada perubahan itu hanya pertanda bakal datangnya satu perubahan tak baik dan perubahan tak menyamankan bagi mereka semuanya. Tiap mereka itu begitu dipengaruhi kejadian dan pemikiran-pemikiran yang diakibatkannya, hingga lambat-laun tiap mereka merasa datangnya perubahan pada diri mereka masing-masing. Mereka merasa mereka yang kini adalah lain daripada mereka sebelumnya.” (Ziarah: hlm. 11)
Kutipan tersebut membuktikan bahwa perilakunya berubah, tidak lagi bertingkah aneh dengan berteriak-teriak atau menangis dan tertawa. Ia menjadi berusaha melawan untuk tidak benci terhadap pekuburan dengan bertanggungjawab terhadap pekerjaannya. Hal tersebut dibuktikan kembali pada kutipan berikut:
“Menjelang benamnya matahari, dia berhenti kerja, membenahkan alat-alatnya, menagih upahnya, pergi tenang sambil bersiul-siul ke kedai arak.“(Ziarah: hlm. 11 
Pelukis dan pengapur sebenarnya sebuah profesi yang tidak terlalu berbeda, keduanya sama-sama berhadapan dengan warna, dan itu pula lah tampaknya yang membuat pelukis menyukai pekerjaan mengapur, ketika ia mengapur hampir sama dengan ketika ia melukis. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Ada sesuatu yang khas pada catan atau kapurannya, yang tak tertiru orang-orang yang mencoba-coba meniru atau menandinginya. Apabila disejajarkan ahasil kerjanya dengan hasil kerja orang lain, tampak benar bedanya, catan atau kapurannya mempunyai warna yang khas. Bahkan, menurut sebagian penduduk kota, mempunyai semacam wangian khas. Rumah yang selesai ditembok atau dikapurnya, menurut mereka seolah berubah jadi lukisan tersendiri.“ (Ziarah: hlm. 6)   
Setelah ia mengapur tembok pekuburan warga dan opseter menemukan berubahan pada dirinya walaupun ia belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa istrinya telah meninggal. Hal tersebut terlihat ketika untuk kedua kalinya ia ditugaskan untuk mengapur tembok pekuburan. Dapat dilihat pada kutipan berikut:
‘’..Maksud saudara adalah memaksa saya ziarah kekuburan istri saya. Dua perbuatan, yang satu sama lainnya berbeda sekali sifatnya. Tapi saudara telah tidak hanya memperkosa logika sampai disini saja. Saudara mengetahui alasan-alasan keberatan saya terhadap ziarah. Yang di dalam tanah ini bukanlah istri saya lagi. Sedikitpun ia tak punya sangkut paut apa-apa dengan saya, dengan orang yang dulu jadi istri saya. Istri saya telah mati, kata orang. (Ziarah :127)
Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa bekas pelukis atau pengapur sudah mulai berdialog dengan orang lain setelah sebelumnya ia hanya melakukan aktivitasnya mengapur seperti biasa. Dan ia pun mulai mengemukakan alasan-alasannya tidak berziarah, disini sikap serta pemikirannya sedikit telah berubah ke arah yang lebih baik untuk menerima kenyataan akan kematian istrinya. Tak lama setelah kejadian ia berdiskusi dengan opseter dan opseter tersebut bunuh diri, perubahannya sangat jelas terlihat. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
Saya.. ingin menanyakan kuburan seorang yang semasa hidupnya adalah istri saya (Ziarah:132)
Istri saya dikubur disini. Seorang, yang barusan saja melalui bapak saya ketahui adalah teman saya yang sesungguhnya, kemarin dikubur disini. Saya ingin selalu dekat dengan mereka, ingin dalam keadaan yang secara terus menerus menziarahi mereka. Nanti bapak lihat, kekosongan disini adalah juga kehidupan. Suatu jenis kehidupan tertentu (Ziarah : 141)
Dengan demikian kutipan terakhir tersebut menunjukkan bahwa bekas pelukis yang telah menjadi pengapur tembok pekuburan tersebut telah mengalami perubahan perilaku dan pemikiran, ia bisa menerima kematian istrinya setelah melewati beberapa proses panjang, dan akhirnya ia pun ingin mengabdikan hidupnya untuk menjadi opseter, agar ia dapat terus dekat dengan istri dan temannya, agar ia dapat menziarahi istrinya, dan agar ia dapat menemukan makna lebih mendalam akan kehidupan dan kematian.

BAB V
SIMPULAN

Disamping banyaknya komentar tentang Ziarah karya Iwan Simatupang yang merupakan novel rumit dan mangandung banyak nilai filsafat yang sulit dipahami. Namun dibalik segala kerumitannya novel Ziarah memiliki sisi lain yang menarik, yaitu antara lain melalui penggambaran tokoh yang dikenal tanpa nama, melainkan dikenal dengan nama-nama profesi tokoh tersebut seperti, bekas pelukis, opseter, walikota dan sebagainya, karena tak memiliki nama maka jika tokoh tersebut beralih profesi maka penyebutan namanya pun sesuai profesi yang digelutinya pada saat itu.
Walaupun banyak kritikus yang beranggapan bahwa dalam Ziarah Iwan menggunakan tokoh hanya sebagai boneka karena memang pada intinya ada hal lain yang ia sampaikan melalui novelnya. Namun bukan berarti tokoh merupakan sesuatu yang tidak penting. Justru lewat tokoh lah pesan dapat disampaikan. Tokoh kita atau bekas pelukis, pengapur tembok pekuburan, dan calon opseter adalah sisi tokoh dengan beberapa profesi dan kerumitan yang ia temui dalam kehidupannya merupakan potret dari manusia pada umumnya yang mencari makna kehidupan, berjalan seperti air dan menjadi dirinya sendiri, serta berubah oleh akibat yang ditimbulkan oleh dirinya sendiri dan lingkungannya.
Selain penyebutan nama yang menarik tersebut Ziarah juga menceritakan tentang dua pusat dunia yaitu kehidupan yang digambarkan oleh tokoh bekas pelukis yang merupakan manusia yang bebas tanpa aturan hidup, tetapi semasa kehidupannya pelukis membuat karya-karya yang luar biasa yang dapat dikenang oleh orang lain bila ia mati. Sedangkan pusat dunia yang kedua yaitu kematian (perkuburan) yang digambarkan dalam tokoh opseter yang sebagian besar kehidupannya adalah kehidupan pertapaan dan dihabiskan di daerah perkuburan saja, ketika mati pun ia tidak meninggalkan apa pun yang dapat dikenang.


DAFTAR PUSTAKA

JR Kurnia. Inspirasi? Nonsense Novel-Novel Iwan Simatupang. Magelang: Indonesia Tera, 1999
KS, Yudiono.  Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo, 2007.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gagjah Mada University Press, 2005.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Sembodo, Edy. Contekan Pintar Sastra Indonesia untuk SMP dan SMA. Jakarta: Hikmah, 2010
Semi, Atar. Anatomi Sastra. Angkasa Raya
Simatupang, Iwan. Ziarah Sebuah Novel. Jakarta: Djambatan, 2004
Siswanto, Wahyudi.  Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo,  2008
Sumarjo, Yakob.  Pelopor Fiksi Non-konvensional Dua Novel Iwan Simatupang, Pikiran Rakyat, edisi Selasa 20 Juli 1982 hal.7 kolom 1
Suryakusuma, Yulia. Ziarah oleh Iwan Simatupang. Jumat, 13 Juli 1973. Dokumentasi HB Jassin
Teeuw, A. Sastra Indonesia Modern. Jakrta: Pustaka Jaya, 1989.
Toda, Dami M. Novel Baru Iwan Simatupang. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Zaimar, okke k.s. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang. Disertasi S3 Universitas Indonesia, 1990



[1]Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2007), h.137.
[2] Yakob Sumarjo,  Pelopor Fiksi Non-konvensional Dua Novel Iwan Simatupang, Pikiran Rakyat, edisi Selasa 20 Juli 1982 hal.7 kolom 1
[3] Teori (Aminuddin, 1984: 107-108) dalam Wahyudi Siswanto,  Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 161
[4] Teori (Abrams, 1981: 142) dalam Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengjkajian Fiksi (Yogyakarta: Yogyakarta University Press, 2005), h. 248
[5] Teori (Abrams, 1981: 73) dalam Wahyudi Siswanto,  Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 149
[6] Teori yang dikemukakan oleh Leo Hamalian dan Frederik R. Karell (dalam Aminuddin, 1984: 64) dikutip dari Wahyudi Siswanto,  Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 149

[7] A. Teeuw, Sastra Indonesia Modern (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), h. 203
[8] Teori (Abrams, 1981: 137) dalam Wahyudi Siswanto,  Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 159
[9]  Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Yogyakarta University Press, 2005), h. 154-155
[10] Teori Tasrif(dalam Mochtar Lubis) dikutip dari  Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Yogyakarta University Press, 2005), h. 149
[11] Ibid.
[12] Ibid., h. 149-150
[13] Ibid., h. 150
[14] Ibid.
[15] Teori Abrams (1981:20) dalam  Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Yogyakarta University Press, 2005), h. 165
[16] Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Yogyakarta University Press, 2005), h. 166

[17] Teori (Aminuddin, 1984: 107-108) dalam  Wahyudi Siswanto,  Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 159
[18] Edy Sembodo, Contekan Pintar Sastra Indonesia untuk SMP dan SMA, (Jakarta: Hikmah, 2010), h. 67
[19] Ibid., h. 70
[20] Nyoman Kutha Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 73