Sabtu, 08 September 2012

Kepatuhan Tokoh Hidjo kepada Orang Tua sebagai Cerminan Masyarakat Timur dalam Novel Student Hidjo


         Mas Marco Kartodikromo dalam Novel Student Hidjo menggambarkan tentang kehidupan kaum priyayi Jawa dengan berbagai kemudahan-kemudahan yang mereka peroleh, salah satunya kemudahan mendapat pendidikan. Orangtua Hidjo berencana menyekolahkan anaknya itu ke Belanda. Ayah Hidjo, Raden Potronojo, berharap dengan Hidjo ke Belanda, dia bisa mengangkat derajat keluarganya. Meskipun sudah menjadi saudagar yang berhasil dan bisa menyamai gaya hidup kaum priyayi murni dari garis keturunan, tidak lantas kesetaraan status sosial diperoleh dengan mudahnya, khususnya di mata orang-orang yang dekat dengan gouvernement, pemerintah kolonial. Berbeda dengan sang ayah, sang ibu Raden Nganten Potronojo khawatir melepas anaknya ke negeri yang dinilai sarat "pergaulan" bebas. Karena ketakutan itu pula lah sang ibu menjodohkan Hidjo dengan R. A Biroe, kemenakannya sendiri.
            Di awal penceritaan tokoh Hidjo digambarkan sebagai pemuda yang penurut terhadap orangtua, terlebih kepada sang ibu yang tak merelakannya pergi ke Belanda. ia pun mengiyakan ketika hendak dikirim ke Belanda  untuk melnjutkan sekolah dan bertunangan dengan Biroe, ia menurut kepada orangtuanya dan mendengarkan nasihat-nasihat dari mereka karena bukti ia begitu menyayangi keduanya.

‘’Kalau kamu pergi ke Negeri Belanda, siapa yang saya lihat saban hari Djo! Djo! Kata ibu Hidjo sambil menangis sangat keras. Anakku Cuma kamu s.. e.. n.. d.. i.. r.. i !!!‘‘
‘‘ Jangan menangis, Bu! Bujuk Hidjo, merajuk ibunya supaya jangan menangis. ‘‘Kalau begitu saya tidak mau pergi ke Negeri Belanda saja!‘‘ (SH: 7)
‘‘Jangan nakal ya, Djo! Kata ibunya kepada Hidjo.
Hidjo hendak tertawa mendengar perkataan ibunya itu, tetapi ditahannya dan berkata,‘‘Tidak!‘‘
‘‘Kalau kamu di Negeri Belanda sampai nakal seperti anak-anak Jawa yang ada di Negeri Belanda lainnya, kamu saya tinggal mati,‘‘ kata Raden Nganten.
‘‘Tidak, Bu!‘‘ Jawab anaknya.
‘‘Dan lagi, kamu harus ingat Mbakyumu Biroe!‘‘ nasihat Raden Nganten. ‘‘Dialah yang harus kau jadikan istrimu, sebab dia familimu sendiri. Bukankah kamu senang dapat istri Biroe?‘‘
‘‘Ya!‘‘ kata anaknay pendek. (SH: 8)

            Berbekal kasih sayangnya kepada sang ibu Hidjo pun berangkat ke Negeri Belanda dengan keyakinan ia tak akan seperti orang Jawa lainnya yang pergi ke negeri Belanda yang tergoda dengan perempuan. Walaupun di perjalanan ia sudah banyak mendapat godaan, akan tetapi ia masih bisa melawannya.
Akan tetapi, Hidjo memang digambarkan sebagai tokoh yang Bulat oleh pengarang. Dalam Teori Pengkajian Fiksi Tokoh bulat merupakan tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, ia dapat menampilakan watak yang bermacam-macam, bahkan mungkin seperti bertentangan atau sulit diduga. Tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya. Seperti pada umumnya manusia yang memiliki keimanan atau pandirian yang terkadang naik turun. Maka Hidjo merupakan gambaran kewajaran manusia seperti itu. Sikap naik turunnya dapat ditolerir.
Karena itulah Hidjo di Negeri Belanda tidak dapat menahan godaan perempuan, akhirnya ia pun menjalin hubungan dengan Betje.
“Mari kita naik tram pergi ke Scheveningen?” kata Betje kepada Hidjo sambil menelan ludahnya yang sudah kental.
“Mari!” jawab Hidjo. Dia semakin berani menggandeng tangan Betje.Hidjo dan Betje sudah naik tram pergi ke Scheveningen.“Mari kita pergi ke Hotel Scheveningen!” kata Betje kepada Hidjo sambil hatinya berdebar-debar. “Nanti kamu sewa satu kamar dan minta untuk dua orang.”
“Baik!” jawab Hidjo kebingungan tetapi mantap.
“Apakah di sini saya bisa dapat kamar untuk dua orang?” tanya Hidjo kepada pelayan hotel, setelah mereka masuk ke hotel.
“Bisa Tuan,” jawab pelayan hotel. Dan Hidjo ditunjukkan kamarnya.
Saat itu juga Hidjo dan Betje langsung masuk ke dalam kamar yang sudah disediakan. Apa yang terjadi selanjutnya di kamar itu, para pembaca bisa memikir atau menduganya sendiri.
“God, Betje! Sudah hampir pukul dua belas,” kata Hidjo kepada Betje yang duduk di tempat tidur. Waktu itu dia melihat arlojinya yang ada di jasnya yang tergantung di cantelan.
            Selama di Belanda ia pun tak dapat pengawasan atau sekadar nasihat-nasihat dari sang ibu, maka ia tak dapat melawan godaan yang menghampirinya. Namun setelah  Hidjo menerima surat dari Biroe, Wongoe, dan Wardojo, ia pun mulai bimbang yang di satu sisi ia ingat akan famili di Tanah Jawa tapi di sisi yang lain ia tidak bisa lepas dari perbuatannya dengan Betje yang semakin hari semakin intim saja. Namun Hidjo sadar bahwa kelakuannya selama ini dengan Betje tidak dapat dibenarkan, surat surat yang datang kepadanya kembali membuatnya sadar bahwa famili di Tanah Jawa banyak berharap kepadanya, iapun tak ingin mengecewakan orangtuanya, berkat kepatuahnnya sejak saat itu Hidjo memutuskan untuk pulang ke Tanah Jawa.
“Saya harus pulang kembali ke Tanah Jawa!” kata Hidjo dalam hati sewaktu dia duduk di bawah pohon sambil memandang hamparan laut lepas. “Sebab kalau saya terus belajar di Negeri Belanda ini, barangkali tidak mustahil kalau saya akan terus menjadi orang Belanda. Kalau saya sampai melakukan hal itu, saya sama artinya dengan meninggalkan sanak famili dan bangsaku. Bah!....Europeesche beschaving! (SH: 105)

Ayah Hidjo pun menyuruh Hidjo pulang dan akan di nikahkan dengan Wongoe, orang yang ia cintai sedari dulu, dan Biroe tuanangannya akan dinikahkan dengan Wardojo, saudara lelaki dari Wongoe. Karena kesadaran itulah maka Hidjo memutuskan kembali ke Jawa dan memutus cinta Betje. Kembali Hidjo mematuhi keinginan orangtuanya yang memang sejalan dengan apa yang ia harapkan.
“Kalau kamu ke Tanah Jawa, saya ikut!” jawab Betje setelah dia mendengarkan cerita Hidjo. Dan airmatanya bercucuran menunjukkan tanda kesedihannya.
“Jangan, besok saya akan kembali ke Negeri Belanda sini lagi dan kita bisa bertemu dan....,” kata Hidjo kepada Betje.
Di kamar yang tertutup, mereka bercakap-cakap, silih berganti sampai masalah yang dibicarakan selesai.
Dengan keinginannya sendiri, Hidjo memberikan sebuah buku Post Spaarbank yang ditulisi namanya dan di dalamnya ditaruh uang sebesar f. 1000,-
“Buku ini kamu simpan, dan uangnya beleh kamu ambil, kalau kamu ada keperluan,” kata Hidjo kepada Betje yang baru menerima buku. (SH: 165)

Walau Hidjo tinggal di Belanda dan ia menyukai kebudayaan Belanda atau Barat, akan tetapi darah ketimurannya tetap mengalir dalam dirinya, dan ia pun mengalahkan superioritas Belanda dengan kesederhanaan perangai ketimuranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar