Mas Marco Kartodikromo dalam Novel Student Hidjo menggambarkan tentang
kehidupan kaum priyayi Jawa dengan berbagai kemudahan-kemudahan yang mereka
peroleh, salah satunya kemudahan mendapat pendidikan. Orangtua Hidjo berencana
menyekolahkan anaknya itu ke Belanda. Ayah Hidjo, Raden Potronojo, berharap
dengan Hidjo ke Belanda, dia bisa mengangkat derajat keluarganya. Meskipun
sudah menjadi saudagar yang berhasil dan bisa menyamai gaya hidup kaum priyayi
murni dari garis keturunan, tidak lantas kesetaraan status sosial diperoleh
dengan mudahnya, khususnya di mata orang-orang yang dekat dengan gouvernement,
pemerintah kolonial. Berbeda dengan sang ayah, sang ibu Raden Nganten Potronojo
khawatir melepas anaknya ke negeri yang dinilai sarat "pergaulan"
bebas. Karena ketakutan itu pula lah sang ibu menjodohkan Hidjo dengan R. A
Biroe, kemenakannya sendiri.
Di awal penceritaan tokoh Hidjo digambarkan sebagai pemuda yang penurut
terhadap orangtua, terlebih kepada sang ibu yang tak merelakannya pergi ke
Belanda. ia pun mengiyakan ketika hendak dikirim ke Belanda untuk
melnjutkan sekolah dan bertunangan dengan Biroe, ia menurut kepada orangtuanya
dan mendengarkan nasihat-nasihat dari mereka karena bukti ia begitu menyayangi
keduanya.
‘’Kalau kamu pergi ke Negeri Belanda, siapa yang
saya lihat saban hari Djo! Djo! Kata ibu Hidjo sambil menangis sangat keras.
Anakku Cuma kamu s.. e.. n.. d..
i.. r.. i !!!‘‘
‘‘ Jangan menangis, Bu! Bujuk Hidjo, merajuk
ibunya supaya jangan menangis. ‘‘Kalau begitu saya tidak mau pergi ke Negeri
Belanda saja!‘‘ (SH: 7)
‘‘Jangan nakal ya, Djo! Kata ibunya kepada
Hidjo.
Hidjo hendak tertawa mendengar perkataan ibunya
itu, tetapi ditahannya dan berkata,‘‘Tidak!‘‘
‘‘Kalau kamu di Negeri Belanda sampai nakal
seperti anak-anak Jawa yang ada di Negeri Belanda lainnya, kamu saya tinggal
mati,‘‘ kata Raden Nganten.
‘‘Tidak, Bu!‘‘ Jawab anaknya.
‘‘Dan lagi, kamu harus ingat Mbakyumu Biroe!‘‘
nasihat Raden Nganten. ‘‘Dialah yang harus kau jadikan istrimu, sebab dia
familimu sendiri. Bukankah kamu senang dapat istri Biroe?‘‘
‘‘Ya!‘‘ kata anaknay pendek. (SH: 8)
Berbekal kasih sayangnya kepada sang ibu Hidjo pun berangkat ke Negeri Belanda
dengan keyakinan ia tak akan seperti orang Jawa lainnya yang pergi ke negeri
Belanda yang tergoda dengan perempuan. Walaupun di perjalanan ia sudah banyak
mendapat godaan, akan tetapi ia masih bisa melawannya.
Akan tetapi,
Hidjo memang digambarkan sebagai tokoh yang Bulat oleh pengarang. Dalam Teori
Pengkajian Fiksi Tokoh bulat merupakan tokoh yang memiliki dan diungkap
berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia
dapat memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, ia dapat menampilakan
watak yang bermacam-macam, bahkan mungkin seperti bertentangan atau sulit
diduga. Tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya.
Seperti pada umumnya manusia yang memiliki keimanan atau pandirian yang
terkadang naik turun. Maka Hidjo merupakan gambaran kewajaran manusia seperti
itu. Sikap naik turunnya dapat ditolerir.
Karena
itulah Hidjo di Negeri Belanda tidak dapat menahan godaan perempuan, akhirnya
ia pun menjalin hubungan dengan Betje.
“Mari kita naik tram pergi ke Scheveningen?”
kata Betje kepada Hidjo sambil menelan ludahnya yang sudah kental.
“Mari!” jawab Hidjo. Dia semakin berani
menggandeng tangan Betje.Hidjo dan Betje sudah naik tram pergi ke
Scheveningen.“Mari kita pergi ke Hotel Scheveningen!” kata Betje kepada Hidjo
sambil hatinya berdebar-debar. “Nanti kamu sewa satu kamar dan minta untuk dua
orang.”
“Baik!” jawab Hidjo kebingungan tetapi mantap.
“Apakah di sini saya bisa dapat kamar untuk dua
orang?” tanya Hidjo kepada pelayan hotel, setelah mereka masuk ke hotel.
“Bisa Tuan,” jawab pelayan hotel. Dan Hidjo
ditunjukkan kamarnya.
Saat itu juga Hidjo dan Betje langsung masuk ke
dalam kamar yang sudah disediakan. Apa yang terjadi selanjutnya di kamar itu,
para pembaca bisa memikir atau menduganya sendiri.
“God, Betje! Sudah hampir pukul dua belas,” kata
Hidjo kepada Betje yang duduk di tempat tidur. Waktu itu dia melihat arlojinya
yang ada di jasnya yang tergantung di cantelan.
Selama di Belanda ia pun tak dapat pengawasan atau sekadar nasihat-nasihat dari
sang ibu, maka ia tak dapat melawan godaan yang menghampirinya. Namun setelah
Hidjo menerima surat dari Biroe, Wongoe, dan Wardojo, ia pun mulai
bimbang yang di satu sisi ia ingat akan famili di Tanah Jawa tapi di sisi yang
lain ia tidak bisa lepas dari perbuatannya dengan Betje yang semakin hari
semakin intim saja. Namun Hidjo sadar bahwa kelakuannya selama ini dengan Betje
tidak dapat dibenarkan, surat surat yang datang kepadanya kembali membuatnya
sadar bahwa famili di Tanah Jawa banyak berharap kepadanya, iapun tak ingin
mengecewakan orangtuanya, berkat kepatuahnnya sejak saat itu Hidjo memutuskan
untuk pulang ke Tanah Jawa.
“Saya harus pulang kembali ke Tanah Jawa!” kata
Hidjo dalam hati sewaktu dia duduk di bawah pohon sambil memandang hamparan
laut lepas. “Sebab kalau saya terus belajar di Negeri Belanda ini, barangkali
tidak mustahil kalau saya akan terus menjadi orang Belanda. Kalau saya sampai
melakukan hal itu, saya sama artinya dengan meninggalkan sanak famili dan
bangsaku. Bah!....Europeesche beschaving! (SH: 105)
Ayah Hidjo
pun menyuruh Hidjo pulang dan akan di nikahkan dengan Wongoe, orang yang ia
cintai sedari dulu, dan Biroe tuanangannya akan dinikahkan dengan Wardojo,
saudara lelaki dari Wongoe. Karena kesadaran itulah maka Hidjo memutuskan
kembali ke Jawa dan memutus cinta Betje. Kembali Hidjo mematuhi keinginan
orangtuanya yang memang sejalan dengan apa yang ia harapkan.
“Kalau kamu ke Tanah Jawa, saya ikut!” jawab
Betje setelah dia mendengarkan cerita Hidjo. Dan airmatanya bercucuran
menunjukkan tanda kesedihannya.
“Jangan, besok saya akan kembali ke Negeri
Belanda sini lagi dan kita bisa bertemu dan....,” kata Hidjo kepada Betje.
Di kamar yang tertutup, mereka bercakap-cakap,
silih berganti sampai masalah yang dibicarakan selesai.
Dengan keinginannya sendiri, Hidjo memberikan
sebuah buku Post Spaarbank yang ditulisi namanya dan di dalamnya ditaruh
uang sebesar f. 1000,-
“Buku ini kamu simpan, dan uangnya beleh kamu
ambil, kalau kamu ada keperluan,” kata Hidjo kepada Betje yang baru menerima
buku. (SH: 165)
Walau Hidjo
tinggal di Belanda dan ia menyukai kebudayaan Belanda atau Barat, akan tetapi
darah ketimurannya tetap mengalir dalam dirinya, dan ia pun mengalahkan
superioritas Belanda dengan kesederhanaan perangai ketimuranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar