Kebaruan dalam novel Belenggu terlihat dari segi bahasa, yaitu dari bahasa
Melayu ke Bahasa Indonesia, unsur modern dan tradisional juga dimunculkan
diluar segi kebahasaan yaitu digambarkan dengan segi penokohan dalam novel
tersebut.
Tokoh dokter Sukartono, merupakan sosok dokter yang mempunyai jam terbang
cukup tinggi, bahkan ia memiliki popularitas di kalangan bangsawan. Ia memiliki
Istri bernama Tini yang berparas cantik dan memiliki sifat mandiri, aktif,
glamour, egois, pencemburu, mudah bergaul, dan seorang yang trauma terhadap
masa lalu. Tini merupakan tokoh wanita yang modern dan bersifat Hedonis, cocok
dengan Sukartono yang merupakan seorang dokter yang populer dikalangan
bangsawan memiliki istri modern seperti Tini. Tono seolah memiliki prestise beristrikan Tini
karena sama-sama dari kaum intelek. Ia berpikiran seorang yang modern.
‘‘Engkau
tidak mnegapa, tapi kaum kita lain-lain akan merasa juga. Kata orang banyak
nanti: ‘‘Coba kaum intellec itu, suami istri berpelajaran, tiada dapat menahan
hati. Keduanya pantas benar jadi suami isteri, tapi karam juga. Itulah kaum
intellec, yang mestinya memberi contoh.‘‘
Akan tetapi hati dokter Sukartono tak dapat berbohong bahwa sesungguhnya ia
bersifat Tradisisonal. Ia memiliki hasrat untuk memiliki istri yang
tradisisonal, berada di rumah dan menyambutnya sehabis pulang kerja, dan memperlakuaknnya
bagai seorang raja. Dan sosok istri seperti itu ia temuakn dalam diri Rokayah.
Ditengah
jalan yang pulang, Sukartono mengingati yang tadi. ‘‘Perempuan aneh, tapi
sebenarnya perempuan. Tini....‘‘ Kartono mengeluh. Nyonya Eni, Perempuan sejati.
Sebenranya
perempuan, sebenarnya perempuan, sebenranya perempuan. (B: 31)
‘‘Dokter,
tiadakah panas hari ini? Bolehkah saya tanggalkan baju tuan dokter?‘‘ Dia tiada
menunggu jawab dokter Sukartono, dengan segera ditanggalkannya. Sesudah
disangkutkannya baju itu dia kembali, lalu berlutut dihadapan Sukartono, terus
ditanggalkannya sepatunya, dipasangkannya sandal yang diambilnya dari bawah
kerosi Sukartono.
‘‘Sudah
sedia,‘‘katanya dengan senyum simpul.
Kartono
merasa seolah-olah tercapai cita-citanya, merasa bahagia didalam hatinya karena
dipelihara demikian. Yang demikian sudah lama dinanti-nantinya. (B: 33)
Ketradisionalan Tono pun tergambarkan dari lagu yang ia sukai yaitu lagu
keroncong yang merupakan lagu daerah. Berlawanan dengan Tini yang senang
memainkan piano, alat musik yang sudah modern.
Tini menaruh
bukunya diatas pangkuannya sambil mengeluh, Tono tiada peduli lagi. Lain dahulu
dia lain. Ah, dia lebih suka membunyikan radio, aduh, lagu keroncong lagi!
Hendak memanaskan darah dia rupanya. Dia sudah hendak bangun, tetapi dia merasa
payah, lalu jatuh kembali. Biar saja, suka hatinyalah. Matanya terpandang
kepada piano terletak di sudut kamar. Sudah lama tertutup saja. Matanya
terpandang kepada kepada piano terletak di sudut kamar. Sudah lama tertutup
saja. Hendak bangun, hendak dimainkannya piano itu keras-keras? Supaya beradu
ribut dengan keroncong itu? Badannya tiada bergaya. Biarlah. Sesukanya. Nanati
berhenti juga. (B: 58)
Tokoh Tini pun disatu sisi merupakan sosok wanita yang modern, ia tak ingin
terjebak dalam dunia ibu rumah tangga yang tak memberinya kebebasan, ia
memiliki banyak aktivitas diluar rumah.
‘‘Memang,
Ibu! Jalan pikiran kita berlainan. Aku berhak juga menyenangkan pikiranku,
menggembirakan hatiku. Aku manusia juga yang berkemauan sendiri. Kalau menurut
pendapat Ibu, kamauanku mesti tuduk pada kemauan suamiku. Bukan Ibu, bukankah
demikian? Kami masing-masing berkemauan sendiri-sendiri, kalau dia pergi
seorang diri, tiada sempat menemani aku, mengapa aku tiada boleh pergi seorang
diri menyenangkan hatiku?‘‘
‘‘Kalau
kami, kaum kolot, kami tinggal saja di rumah,‘‘
‘‘Eh,
sebagai barang simpanan, berbedak dan berpakaian bersih-bersih, sekali setahun
dijemur diluar. Menanti suami sampai suka membawa keluar.‘‘ Dia berhenti
sejurus, lalu katanya dengan tetap: ‘‘Kami lain, kami bimbing nasib kami
sendiri, tiada hendak menanti rahmat laki-laki.‘‘
‘‘Memang,
rumahku diluar rumah,‘‘
‘‘Memang,
disanalah kami merdeka.‘‘(B: 54-54)
Akan tetapi di sisi yang lain ia tak bisa lepas dari tradisi. Ia juga
wanita tradisional dari sisi tradisi yang ia jalankan. Yaitu dengan menyulam. Yang
identik dengan kebiasaan para wanita tradisional.
Ah, mengapa
pula ditaruhnya disini. Diangkatnya barang sulaman isterinya dari atas meja,
akan mencari bloc-note, tempat mencatat nama orang kalau ada meneleponnya,
waktu dia keluar. Ketika tidak
bertemu diatas meja, dikiraikannya sulaman isterinya, kalau-kalau terbungkus.
Maka klos benang jatuh, benangnya terjela-jela. Bloc-note tidak ada. Dimana
pula disimpannya. (B: 15)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar