Sabtu, 08 September 2012

Konfrontasi Modernitas dan Tradisionalitas diri para Tokoh dalam Novel Belenggu




Kebaruan dalam novel Belenggu terlihat dari segi bahasa, yaitu dari bahasa Melayu ke Bahasa Indonesia, unsur modern dan tradisional juga dimunculkan diluar segi kebahasaan yaitu digambarkan dengan segi penokohan dalam novel tersebut.
Tokoh dokter Sukartono, merupakan sosok dokter yang mempunyai jam terbang cukup tinggi, bahkan ia memiliki popularitas di kalangan bangsawan. Ia memiliki Istri bernama Tini yang berparas cantik dan memiliki sifat mandiri, aktif, glamour, egois, pencemburu, mudah bergaul, dan seorang yang trauma terhadap masa lalu. Tini merupakan tokoh wanita yang modern dan bersifat Hedonis, cocok dengan Sukartono yang merupakan seorang dokter yang populer dikalangan bangsawan memiliki istri modern seperti Tini. Tono seolah memiliki prestise beristrikan Tini karena sama-sama dari kaum intelek. Ia berpikiran seorang yang modern.

‘‘Engkau tidak mnegapa, tapi kaum kita lain-lain akan merasa juga. Kata orang banyak nanti: ‘‘Coba kaum intellec itu, suami istri berpelajaran, tiada dapat menahan hati. Keduanya pantas benar jadi suami isteri, tapi karam juga. Itulah kaum intellec, yang mestinya memberi contoh.‘‘

Akan tetapi hati dokter Sukartono tak dapat berbohong bahwa sesungguhnya ia bersifat Tradisisonal. Ia memiliki hasrat untuk memiliki istri yang tradisisonal, berada di rumah dan menyambutnya sehabis pulang kerja, dan memperlakuaknnya bagai seorang raja. Dan sosok istri seperti itu ia temuakn dalam diri Rokayah.

Ditengah jalan yang pulang, Sukartono mengingati yang tadi. ‘‘Perempuan aneh, tapi sebenarnya perempuan. Tini....‘‘ Kartono mengeluh.  Nyonya Eni, Perempuan sejati.
Sebenranya perempuan, sebenarnya perempuan, sebenranya perempuan. (B: 31)
‘‘Dokter, tiadakah panas hari ini? Bolehkah saya tanggalkan baju tuan dokter?‘‘ Dia tiada menunggu jawab dokter Sukartono, dengan segera ditanggalkannya. Sesudah disangkutkannya baju itu dia kembali, lalu berlutut dihadapan Sukartono, terus ditanggalkannya sepatunya, dipasangkannya sandal yang diambilnya dari bawah kerosi Sukartono.
‘‘Sudah sedia,‘‘katanya dengan senyum simpul.
Kartono merasa seolah-olah tercapai cita-citanya, merasa bahagia didalam hatinya karena dipelihara demikian. Yang demikian sudah lama dinanti-nantinya. (B: 33)


Ketradisionalan Tono pun tergambarkan dari lagu yang ia sukai yaitu lagu keroncong yang merupakan lagu daerah. Berlawanan dengan Tini yang senang memainkan piano, alat musik yang sudah modern.
Tini menaruh bukunya diatas pangkuannya sambil mengeluh, Tono tiada peduli lagi. Lain dahulu dia lain. Ah, dia lebih suka membunyikan radio, aduh, lagu keroncong lagi! Hendak memanaskan darah dia rupanya. Dia sudah hendak bangun, tetapi dia merasa payah, lalu jatuh kembali. Biar saja, suka hatinyalah. Matanya terpandang kepada piano terletak di sudut kamar. Sudah lama tertutup saja. Matanya terpandang kepada kepada piano terletak di sudut kamar. Sudah lama tertutup saja. Hendak bangun, hendak dimainkannya piano itu keras-keras? Supaya beradu ribut dengan keroncong itu? Badannya tiada bergaya. Biarlah. Sesukanya. Nanati berhenti juga. (B: 58)

Tokoh Tini pun disatu sisi merupakan sosok wanita yang modern, ia tak ingin terjebak dalam dunia ibu rumah tangga yang tak memberinya kebebasan, ia memiliki banyak aktivitas diluar rumah.
‘‘Memang, Ibu! Jalan pikiran kita berlainan. Aku berhak juga menyenangkan pikiranku, menggembirakan hatiku. Aku manusia juga yang berkemauan sendiri. Kalau menurut pendapat Ibu, kamauanku mesti tuduk pada kemauan suamiku. Bukan Ibu, bukankah demikian? Kami masing-masing berkemauan sendiri-sendiri, kalau dia pergi seorang diri, tiada sempat menemani aku, mengapa aku tiada boleh pergi seorang diri menyenangkan hatiku?‘‘
‘‘Kalau kami, kaum kolot, kami tinggal saja di rumah,‘‘
‘‘Eh, sebagai barang simpanan, berbedak dan berpakaian bersih-bersih, sekali setahun dijemur diluar. Menanti suami sampai suka membawa keluar.‘‘ Dia berhenti sejurus, lalu katanya dengan tetap: ‘‘Kami lain, kami bimbing nasib kami sendiri, tiada hendak menanti rahmat laki-laki.‘‘
‘‘Memang, rumahku diluar rumah,‘‘
‘‘Memang, disanalah kami merdeka.‘‘(B: 54-54)

Akan tetapi di sisi yang lain ia tak bisa lepas dari tradisi. Ia juga wanita tradisional dari sisi tradisi yang ia jalankan. Yaitu dengan menyulam. Yang identik dengan kebiasaan para wanita tradisional.

Ah, mengapa pula ditaruhnya disini. Diangkatnya barang sulaman isterinya dari atas meja, akan mencari bloc-note, tempat mencatat nama orang kalau ada meneleponnya, waktu dia keluar. Ketika tidak bertemu diatas meja, dikiraikannya sulaman isterinya, kalau-kalau terbungkus. Maka klos benang jatuh, benangnya terjela-jela. Bloc-note tidak ada. Dimana pula disimpannya. (B: 15)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar