Dalam
dinamika perjalanan sejarah sastra Indonesia banyak polemik yang terjadi, salah
satunya ialah tidak diterimanya para pengarang muda oleh para pengarang tua.
Pengarang muda menganggap bahwa para pengarang muda tidak menunjukkan semangat
perlawanan yang menggebu-gebu terhadap kaum penjajah, sedang kalangan muda menganggap bahwa mereka melakukan kebaruan
sesuai zaman yang tentu masih ada nilai-nilai perjuangnnya akan tetapi berbeda
caranya dengan kaum tua.
Idrus yang
menyebut dirinya sebagai pembaharu prosa Indonesia dan Chairil Anwar pada puisi,
yang memangkeduanya muncul pada zaman Jepang, Kumpulan Cerpen Dari Ave Maria ke
Jalan Lain ke Roma yang berisi beberapa cerpen yang menunjukkan kebobrokan pada
saat dijajah oleh Nippon, namun di dalamnya ‘terselip’ sebuah sandiwara empat
babak yang menyindir mnegenai
pertentangan antara pengarang muda dan pengarang tua yang kita ketahui tokoh
tersebut adalah Sutan Takdir Alisjahbana dan Chairil Anwar.
Dalam drama
tersebut ada beberapa pelaku diantaranya ISHAK (Pengarang muda), SATILAWATI
(Tunangannya Ishak), KARTILI (Dokter, teman Ishak), ASMADIPUTERA (Master in de
rechten, teman Ishak), SUKSORO (Pengarang kolot, ayah SATILAWATI), PEREMPUAN
TUA (Nenek SATILAWATI).
Idrus
menggambarkan bagaimana kegelisahan seorang pengarang muda ingin membela tanah
air dengan karyanya tapi justru romannya tidak diterima oleh beberapa kalangan
karena dianggap karyanya dapat berdampak buruk pada generasi muda, tidak
mendorong para generasi muda untuk berjuang.
ISHAK : Aku bangga engkau jadi
jururawat. Membela nusa di garis
belakang. Aku juga dengan tulisanku. Tapi rakyat belum mengerti. Pak Orok juga.
(DAM: 24)
ISHAK: Aku juga mengarang untuk
nusa dan bangsa.Tapi caraku lain, bukan cara tukang pidato semangat.
SATILAWATI: Pasti aku bisa menangkap
maksudmu. Aku bisa menghargakan karangan yang begitu. Segalanya diceritakan
dengan kiasan dan sindiran.
ISHAK: Engkau selalu menimbulkan
semangatku untuk berjuang, berjuan g mati-matian untuk memahamkan pengarang
kolot akan cara baru. Cerita semangat juga, tapi dengan cara baru. Tapi
sekarang ini aku mesti pergi, jauh, jauh sekali. (DAM: 25)
ISHAK : Satu lagi orang
memusuhi aku, tidak apa. Pergilah Satilawati. Rupamu yang molek jelita itu
seperti menghadapi buku pengarang kolot bagiku sekarang. Pergilah Satilawati.
(DAM: 26)
ISHAK : Tidak. Kita ini
dilahirkan ke atas dunia dengan kewajiban masing-masing. Kewajiban Tuan adalah
mempertahankan yang lama. Dan kewajiban Kami ialah mencari yang baru. Ini
menimbulkan pergeseran. Pergeseran ini menimbulkan api perjuangan yang maha
hebat. Dan oleh perjuangan ini hidup di atas dunia serasa tambah berharga.
(DAM: 74)
Idrus
menyampaikan pesan sindirannya bahwa sebenarnya yang didinginkan angkatan baru
terhadap angkatan lama adalah sebuah penghargaan. Angkatan baru ingin dihargai
karya-karyanya serta di apresiasi perjuangan dan semangat kebaruannya. Hal
tersebut sangat jelas terlihat dalam kutipan percakapan SUKSORO bersama ISHAK.
ISHAK : Bedanya hanya, Tuan telah
dapat menghargai angkatan baru sekarang. Dan angkatan baru hanya itu yang
diharapkannya dari ankatan lama, penghargaan itu. Salah sangkaan Tuan jika kami
menghendaki, supaya Tuan mengarang cara kami pula..
SUKSORO : Aku mengerti, Ishak.
(DAM: 74)
Kemudian
akhirnya secara tidak langsung di akhir cerita Idrus memenangkan angkatan muda.
ISHAK : Dan dunia selalu
membuktikan, bahwa pemudalah yang selalu menang dalam perjuangannya dengan angkatan lama.
SUKSORO : (mengangguk) Aku mengerti, Ishak...
Mudah mudahan. (DAM: 74)
Demikianlah
seorang Idrus dalam menunjukkan kegelisahannya terhadap konfrontasi angkatan
muda dan angkatan lama lewat Kejahatan Membalas Dendam yang dikemas dengan
ringan, lugas, menarik, apa adanya, dan beberapa kalimat yang membuat pembaca
tersenyum simpul karena sedikit jenaka di akhir cerita. Hal tersebut tentu
berkaitan pula dengan pembaharuannya yang tidak hanya dari segi bentuk, tapi
juga perubahan yang berakar dari jiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar