Keseimbangan Religiusitas dan
Humanitas dalam cerpen Robohnya Surau Kami
Cerpen sebagai jenis karya sastra dapat memberikan
banyak manfaat kepada pembacanya. Ketika membaca sebuah cerpen, pembaca seperti sedang melihat miniatur kehidupan
manusia dan merasa dekat dengan permasalahan yang ada di dalam cerpen tersebut.
Tema yang diangkat pun tak jarang merupakan sebuah manifesto dari apa yang
pengarang lihat, dengar, dan rasakan di sekelilingnya. A. A Navis membuat
cerpen Robohnya Surau Kami yang merupakan cerpen yang sarat akan nilai religius
dan sosial, sebagai bentuk ungkapan kegelisahan A. A Navis tentang apa yang ia
yakini benar akan tetapi pada kenyataan di dunia yang dihadapi manusia lalai
akan kebenaran itu.
Manusia memang tidak dapat memungkiri bahwa terkadang tidak
dapat menyeimbangkan diri untuk menjadi manusia yang sempurna dalam arti menyempurnakan
hubungan individu dengan Tuhannya (Vertikal), dan hubungan individu dengan
individu lainnya (Horizontal) atau hubungan sosial. Pesan Navis sebenarnya cukup
sederhana akan tetapi manusia terkadang lalai akan hal tersebut.
Navis memberikan gambaran masyarakat pada saat itu
yaitu gambaran tentang masyarakat secara implisit ia sebutkan di minangkabau,
yang tak peduli pada agama, karena sepeninggalnya tokoh Kakek penjaga surau
atau disebut garin, tidak ada lagi
yang menjaga surau, bukti bahwa masyarakat setempat tak memperdulikan agama.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah
meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak
menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai
mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan
dinding atau lantai di malam hari. (RSK: 2)
Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai
gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu
kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari didalammnya,
secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa
bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi. (RSK:
2)
Sastra yang mengandung pesan kritik biasanya akan
lahir di tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang tidak sesuai dalam
kehidupan sosial pada masyarakat tersebut. Dalam hal ini A. A Navis mengangkat
kehidupan keagamaan dalam suatu masyarakat sosial. Pengarang menggambarkan
seorang tokoh yang berada dalam masyarakat sosial akan tetapi ia justru
menjauhi kenyataan sosial atau kewajiban sosial dengan mementingkan hubungan religiusitasnya
sendiri dengan Tuhannya sehingga mengesampingkan hubungan sosial yang
sebenarnya dalam agamanya diajarkan keseimbangan
menegnai dua hal tersebut.
Saya kurang sependapat jika ada yang mengatakan bahwa
pengarang dalam cerpen ini memenangkan sosial atau sebaliknya memenangkan
agama. Pengarang justru memenagkan keduanya, hal tersebut dengan jelas
pengarang gambarkan dengan sebuah surau. Surau merupakan tempat beribadah,
beribadah secara bersama-sama atau berjamaah, maka jelas bahwa religiusitas dan
humanitas tak dapat dipisahkan. Hal tersebut pengarang gambarkan juga lewat
tokoh Ajo Sidi.
Aku cari ajo sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa
dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
‘‘Ia sudah pergi,‘‘ jawab istri Ajo Sidi.
‘‘Tidak
ia tahu Kakek meninggal?‘‘
‘‘Sudah.
Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.’’
‘’Dan
sekarang,’’ tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh
perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, ‘’ dan sekarang ke
mana dia?
‘’Kerja.’’
‘’Kerja?’’
tanyaku mengulangi hampa.
‘’Ya, dia pergi kerja.’’ (RSK: 13)
Ketika melihat kutipan cerpen tersebut diatas pembaca
mungkin secara kasat mata akan menyalahkan Ajo Sidi yang tak bertanggungjawab
karena telah menyebabkan Kakek bunuh diri akan tetapi ia tetap pergi bekerja,
hanya menitipkan sebuah kain kafan untuk Kakek. Akan tetapi justru disinilah
pesan yang iangin disampaikan pengarang, Aajo Sidi sangat bertanggungjawab,
terhadap religiusitasnya dan humanitasnya. Terhadap religiusitasnya Ajo Sidi
bertanggungjawab karena walaupun ia tidak mengurusi jenazah kakek tapi ia
bertanggungjawab dengan memberikan kain kafan untuk Kakek, karena tidak perlu
semua orang mengurusi jenazah, apabila sudah ada yang mengurusi beberapa orang,
itu sudah cukup mewakili. Kepada Humanitasnya ia pun bertanggungjawab dengan
tetap pergi bekerja untuk menafkahi
keluarga. Ketika hendak pergi bekerja
Pengarang bersikap jujur dan apa adanya karena memang
pada kenyataannya pada saat itu atau bahkan saat ini tak ada lagi yang peduli
terhadap surau, tempat orang-orang muslim beribadah bersama-sama, menjalankan
kewajiban Religiusitas dan Humanitasnya. Apabila kita kaitkan dengan saat ini,
banyak dibangun Surau atau bahkan Masjid yang megah, tapi tak jarang semuanya
tak berpenghuni, hanya kamuflase untuk ‘‘pamer‘‘ pada masyarakat lain, kenyataannya,
peran sosial sangat berpengaruh terhadap agama, karenaya maka agama dan sosial,
atau religiusitas dan humanitas yang ada diri seseorang tak dapat dipisahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar