Sabtu, 08 September 2012

Keseimbangan Religiusitas dan Humanitas dalam cerpen Robohnya Surau Kami




Keseimbangan Religiusitas dan Humanitas dalam cerpen Robohnya Surau Kami


Cerpen sebagai jenis karya sastra dapat memberikan banyak manfaat kepada pembacanya. Ketika membaca sebuah cerpen, pembaca  seperti sedang melihat miniatur kehidupan manusia dan merasa dekat dengan permasalahan yang ada di dalam cerpen tersebut. Tema yang diangkat pun tak jarang merupakan sebuah manifesto dari apa yang pengarang lihat, dengar, dan rasakan di sekelilingnya. A. A Navis membuat cerpen Robohnya Surau Kami yang merupakan cerpen yang sarat akan nilai religius dan sosial, sebagai bentuk ungkapan kegelisahan A. A Navis tentang apa yang ia yakini benar akan tetapi pada kenyataan di dunia yang dihadapi manusia lalai akan kebenaran itu.
Manusia memang tidak dapat memungkiri bahwa terkadang tidak dapat menyeimbangkan diri untuk menjadi manusia yang sempurna dalam arti menyempurnakan hubungan individu dengan Tuhannya (Vertikal), dan hubungan individu dengan individu lainnya (Horizontal) atau hubungan sosial. Pesan Navis sebenarnya cukup sederhana akan tetapi manusia terkadang lalai akan hal tersebut.
Navis memberikan gambaran masyarakat pada saat itu yaitu gambaran tentang masyarakat secara implisit ia sebutkan di minangkabau, yang tak peduli pada agama, karena sepeninggalnya tokoh Kakek penjaga surau atau disebut garin, tidak ada lagi yang menjaga surau, bukti bahwa masyarakat setempat tak memperdulikan agama.

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari. (RSK: 2)
Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari didalammnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi. (RSK: 2)

Sastra yang mengandung pesan kritik biasanya akan lahir di tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang tidak sesuai dalam kehidupan sosial pada masyarakat tersebut. Dalam hal ini A. A Navis mengangkat kehidupan keagamaan dalam suatu masyarakat sosial. Pengarang menggambarkan seorang tokoh yang berada dalam masyarakat sosial akan tetapi ia justru menjauhi kenyataan sosial atau kewajiban sosial dengan mementingkan hubungan religiusitasnya sendiri dengan Tuhannya sehingga mengesampingkan hubungan sosial yang sebenarnya dalam agamanya  diajarkan keseimbangan menegnai dua hal tersebut.

Saya kurang sependapat jika ada yang mengatakan bahwa pengarang dalam cerpen ini memenangkan sosial atau sebaliknya memenangkan agama. Pengarang justru memenagkan keduanya, hal tersebut dengan jelas pengarang gambarkan dengan sebuah surau. Surau merupakan tempat beribadah, beribadah secara bersama-sama atau berjamaah, maka jelas bahwa religiusitas dan humanitas tak dapat dipisahkan. Hal tersebut pengarang gambarkan juga lewat tokoh Ajo Sidi.

Aku cari ajo sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
‘‘Ia sudah pergi,‘‘ jawab istri Ajo Sidi.
‘‘Tidak ia tahu Kakek meninggal?‘‘
‘‘Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.’’
‘’Dan sekarang,’’ tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, ‘’ dan sekarang ke mana dia?
‘’Kerja.’’
‘’Kerja?’’ tanyaku mengulangi hampa.
‘’Ya, dia pergi kerja.’’ (RSK: 13)

Ketika melihat kutipan cerpen tersebut diatas pembaca mungkin secara kasat mata akan menyalahkan Ajo Sidi yang tak bertanggungjawab karena telah menyebabkan Kakek bunuh diri akan tetapi ia tetap pergi bekerja, hanya menitipkan sebuah kain kafan untuk Kakek. Akan tetapi justru disinilah pesan yang iangin disampaikan pengarang, Aajo Sidi sangat bertanggungjawab, terhadap religiusitasnya dan humanitasnya. Terhadap religiusitasnya Ajo Sidi bertanggungjawab karena walaupun ia tidak mengurusi jenazah kakek tapi ia bertanggungjawab dengan memberikan kain kafan untuk Kakek, karena tidak perlu semua orang mengurusi jenazah, apabila sudah ada yang mengurusi beberapa orang, itu sudah cukup mewakili. Kepada Humanitasnya ia pun bertanggungjawab dengan tetap  pergi bekerja untuk menafkahi keluarga. Ketika hendak pergi bekerja

Pengarang bersikap jujur dan apa adanya karena memang pada kenyataannya pada saat itu atau bahkan saat ini tak ada lagi yang peduli terhadap surau, tempat orang-orang muslim beribadah bersama-sama, menjalankan kewajiban Religiusitas dan Humanitasnya. Apabila kita kaitkan dengan saat ini, banyak dibangun Surau atau bahkan Masjid yang megah, tapi tak jarang semuanya tak berpenghuni, hanya kamuflase untuk ‘‘pamer‘‘ pada masyarakat lain, kenyataannya, peran sosial sangat berpengaruh terhadap agama, karenaya maka agama dan sosial, atau religiusitas dan humanitas yang ada diri seseorang tak dapat dipisahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar